Mohon tunggu...
Muhamad Hamdani Syamra
Muhamad Hamdani Syamra Mohon Tunggu... -

mahasiswa, guru freelance, penulis dan pemilik Mata Pena Group

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentangmu, Tentang Kita, Tentang Cinta

29 Oktober 2011   14:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:19 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah kamu mempertanyakan rasa cintaku padamu? Kuharap pertanyaan itu tidak pernah ada. Disatu sudut hatiku ada namamu. Sinarnya terang menemani gelapku saat kau jauh dariku. Di setiap malam sebelum tidurku, aku selalu merapalkan namamu sebagai doa pengantar tidurku. Berharap kau muncul di setiap mimpiku, menjadikanmu pemeran utama dalam setiap dunia cerita yang kubangun dalam mimpi.

Senyummu, tawamu dan ekspresi matamu meluluhkanku. Hatiku menguap saat bersamamu, tak tersisa sedikitpun untuk yang lain. Hanya untukmu. Jiwa ini tertahan dalam angan tentangmu. Tentangmu, memenuhi setiap sendi-sendi pikiranku. Tidak ada yang lain.

Taukah beban rindu yang kutanggung? Mengertikah dirimu berapa banyak air mata yang terbuang untuk mengingatmu, sebagai mahar setiap aku memikirkanmu. Jika untuk mengingatmu aku harus menggadaikan semua air mata yang kumiliki, aku rela. Jika memang mencintaimu adalah sebuah kesalahan, aku sanggup untuk tertawan dalam hatimu. Kau, dengan semua pesona yang kau miliki, sanggup membuatku tenang saat gundah merajaiku. Senyummu mampu cairkan hening yang selalu menyelimutiku. Tatapan matamu mampu memberikan hangat dalam hatiku, membuat diriku berbeda. Hadirmu menjadi warna terang dalam hidupku yang selama ini gelap.

Aku cinta kamu. Akan kugunakan semua definisi cinta untuk mengungkapkan besarnya rasa sayangku padamu. Kau adalah raja di hatiku, tempatmu selalu yang tertinggi dari siapapun. Kau adalah bilangan nomor satu jika seseorang mempertanyakan peringkatmu dalam hatiku. Kadang aku berfikir, apa jadinya diriku tanpa dirimu. Jika jauh darimu saja diriku rapuh. Apalagi harus benar-benar berpisah denganmu. Apakah aku sanggup menahan beban rindu yang membuncah dalam dadaku? Apakah diriku mampu menahan setiap cinta yang selalu tersalurkan kepadamu. Kehilanganmu adalah ketakutan terbesar dalam hidupku. Mimpi buruk terbesarku adalah saat aku harus menyadari kau telah pergi. Dari diriku. Dari hidupku.

Di depan nisanmu yang masih baru. Kucium harum tanah yang masih basah. Kenanganmu mengalir deras disana bercampur dengan air mataku yang tidak juga berhenti. Sudah 3 hari kau pergi meninggalkanku. Demi diriku, kau tukarkan sekeping nyawamu. Jika saja kau tidak mendorongku di sore itu. Saat hujan turun deras membasahi bumi, saat pertama kalinya aku marah kepadamu, pertama kalinya aku menaparmu ditengah hujan lalu berlari meninggalkanmu. Jika saja aku tidak berlari, jika saja tidak ada mobil yang melaju kencang di sore itu, jika saja kau tidak mendorongku untuk menyelamatkanku yang hampir tertabrak mobil tersebut, jika saja mobil itu tidak menabrakmu, pasti kau masih tetap hidup. Masih dapat tersenyum dan tertawa bersamaku. Namun percuma semua hanya 'jika', hanya sebuah pengharapan yang tidak mungkin terjadi. Nyatanya kau ada disini dihadapanku, tepatnya nisanmu telah berdiri tegak ditanah yang masih basah ini.

Aku menggenggam tanah milikmu. Menciummu sesaat, menyesapi wanginya. Pikiranku mendadak tenang. Bimbang yang sejak tadi menghingapiku sirna. Kini kukeluarkan benda yang sudah ada di tasku sejak kematianmu. Di hari ketiga kematianmu aku dapat menemukan jawaban gundahku. Aku tersenyum menatap nisanmu. Kujulurkan lenganku dan kunikmati sensasi saat mata pisau mengiris nadiku. Darahnya mengalir lembut dari sela luka yang mulai menganga. "Sayang, sebentar lagi kita akan bersama kembali. "Seperti tiga hari yang lalu, dibawah hujan ini. Aku berjanji akan selalu bersamamu," ucapku pelan seraya mengecup nisan kekasihku, Leo. Lelaki yang selalu kucintai dengan sepenuh hati. Beberapa saat kemudian pandanganku menggelap, dinginnya hujan sudah tak lagi kurasakan saat samar-samar kesadaranku mulai pupus dan pudar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun