Dalam kegiatan observasi yang dilakukan oleh Kelompok 5 Kelas C Semester 1 Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga, tema yang diusung mengenai emosionalitas penyandang disabilitas terhadap teman, guru, dan orang tua menjadi fokus utama.
Hasil wawancara dengan Bu Guru di SLB Negeri 1 Yogyakarta mengungkapkan realitas yang dihadapi oleh anak-anak dengan kecenderungan mudah terbawa amarah.
Dalam wawancara yang dilakukan di ruang tamu sekolah, kelompok ini mengajukan pertanyaan "Bagaimana cara mengatasi anak-anak yang sedang marah (tantrum)?". Dafiq dari perwakilan kelompok bertanya kepada seorang guru di sekolah tersebut.
"Beda-beda setiap anak, tapi mayoritas di sini gini sih kalau ada yang tantrum, misalnya dia cari perhatian dia sampai menjatuhkan diri dari kursi, ada yang seperti itu. Lalu Apa yang harus dilakukan? Diamkan dulu. Pertama, mencoba langsung menolongnya karena memang trial and error. Tapi habis itu ada juga yang ditolongin kok malah lama ya tantrumnya, jadi malah aneh-aneh merancau. Ada yang seperti itu, oke, ditolongin juga kan tidak mau, yaudah, kita biarkan dulu. Ternyata setelah itu tidak jadi tantrum lagi, sudah selesai tantrumnya udah gitu." cerita seorang guru sebagai narasumber.
Menurut Bu Guru, reaksi tantrum anak-anak tersebut bervariasi, ada yang mencari perhatian dengan cara menjatuhkan diri dari kursi atau tindakan ekspresif lainnya. Dalam mengatasi kondisi tersebut, pendekatan yang dilakukan juga beragam. Beberapa cara yang disebutkan melibatkan pendekatan asesmen terlebih dahulu, mencoba untuk langsung menolong, dan memberikan ruang jika ternyata anak tidak responsif terhadap pertolongan.
Salah satu contoh pendekatan yang dijelaskan adalah mencoba menolong anak saat tantrum terjadi. Namun, jika respons anak tidak sesuai atau malah memperpanjang tantrum, pendekatan tersebut dihentikan untuk memberikan ruang bagi anak. Bu Guru menyampaikan bahwa setiap anak memiliki keunikan dalam responsnya terhadap situasi tantrum, sehingga diperlukan pendekatan yang disesuaikan.
Observasi ini memberikan pemahaman yang lebih dalam terkait tantangan emosional yang dihadapi penyandang disabilitas dan strategi yang diterapkan dalam konteks pendidikan inklusif. Kelompok 5 mengakhiri kegiatan observasinya dengan memberikan souvenir oleh-oleh sebagai tanda terima kasih, mengedepankan pesan bahwa mereka adalah anak-anak yang spesial tanpa adanya pemisahan atau diskriminasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H