Mereka, di masa kampanye, lebih senang menggunakan kata "sejahtera" kepada para "pahlawan" dibandingkan menggunakan kata "mutu" untuk perbaikan pendidikan.Â
Di sinilah kemudian janji itu berbelok.
Guru yang selalu dipuji sebagai pahlawan (saya sangat benci dengan pujian semacam itu) mengharap banyak nasibnya berubah menjadi lebih baik.Â
Tapi pemerintah lebih terfokus memikirkan mutu pendidikan, yang diartikan sebagai perbaikan atau perombakan kurikulum, dalam menjalankan pemerintahannya sehingga konsep, ide, visi dan misi pemerintah terkait itu hanya mantul-mantul saja di awang-awang.
Guru sadar kualitas pendidikan perlu ditingkatkan.
Tapi guru juga sadar kualitas hidup perlu diperbaiki.Â
Bagaimana mungkin kualitas pendidikan meningkat jika selama mengajar guru sibuk memikirkan stok beras di rumah yang menipis?
Bagaimana mungkin guru kreatif mendidik jika beban kebutuhan rumah tangga tak tercukupi?
Bagaiamana mungkin guru menikmati pekerjaannya jika waktu istirahatnya justru dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan yang tak sempat terselesaikan di sekolah?
Bisa jadi, dan saya sangat menyakini, rendahnya mutu pendidikan kita berbanding lurus dengan rendahnya penghasilan dan kesejahteraan gurunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI