Mohon tunggu...
Khansa Nabila Danish Ara R.
Khansa Nabila Danish Ara R. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswa Program Studi Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dinamika Demokrasi Menjelang Pilkada 2024

11 Oktober 2024   21:47 Diperbarui: 11 Oktober 2024   22:03 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kembali menghadapi ujian demokrasinya dalam persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai garda terdepan penyelenggara pemilu, di bawah kepemimpinan Mochammad Afifuddin, tengah berpacu dengan waktu untuk memastikan kesiapan administratif dan logistik menjelang pesta demokrasi lokal ini.

Dalam teori demokrasi modern, pemilihan umum yang bebas dan adil merupakan pilar utama legitimasi pemerintahan. Robert A. Dahl, dalam karyanya "On Democracy", menekankan pentingnya institusi demokrasi yang berfungsi dengan baik, termasuk pemilihan yang bebas, adil, dan berkala. Namun, implementasi ideal ini menghadapi berbagai tantangan di lapangan, seperti yang terlihat dalam persiapan Pilkada 2024.

Salah satu isu krusial yang mencuat adalah fenomena calon tunggal di 41 daerah pemilihan. Angka ini, meski mengalami penurunan dari 43 daerah sebelumnya, masih menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Dr. Valina Singka Subekti, pakar politik dari Universitas Indonesia, mengomentari, "Fenomena calon tunggal mencerminkan adanya ketimpangan dalam ekosistem politik lokal. Ini bisa jadi indikasi lemahnya kaderisasi partai atau tingginya barrier to entry bagi calon potensial."

Teori pluralisme politik, yang dikemukakan oleh Robert Dahl dalam "Polyarchy: Participation and Opposition", menekankan pentingnya kompetisi politik yang sehat. Namun, realitas calon tunggal di berbagai daerah menantang prinsip ini. KPU, sebagai respons, tengah mempertimbangkan opsi pemilihan ulang dalam waktu satu tahun untuk daerah-daerah dengan kemenangan kotak kosong, alih-alih menunggu lima tahun ke depan.

"Ini adalah dilema klasik antara efisiensi administratif dan esensi demokrasi," ujar Prof. Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN. "Di satu sisi, kita ingin proses yang efisien, tapi di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan hak masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan."

Sementara itu, isu transparansi keuangan kandidat menjadi sorotan lain yang tak kalah penting. Laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa sekitar 1.000 calon terpilih belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Fakta ini menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dalam proses demokrasi, sebuah prinsip yang ditekankan oleh teoretikus demokrasi modern seperti Larry Diamond dalam karyanya "Developing Democracy: Toward Consolidation".

"Transparansi keuangan bukan sekadar formalitas administratif," tegas Dadang Trisasongko, Sekjen Transparency International Indonesia. "Ini adalah fondasi kepercayaan publik terhadap integritas para calon pemimpin mereka. Tanpa ini, legitimasi hasil pemilu bisa dipertanyakan."


KPU, dalam upayanya menegakkan integritas pemilu, juga dihadapkan pada tantangan mendefinisikan batas antara kegiatan kampanye dan kegiatan sosial umum. Afifuddin menyoroti adanya "grey area" di mana beberapa kandidat melakukan kegiatan yang menyerupai kampanye dini dengan kedok pertemuan sosial.

Dr. Kuskridho Ambardi, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan, "Ini adalah manifestasi dari apa yang disebut Giovanni Sartori sebagai 'videopolitics' dalam era modern. Para kandidat berusaha memaksimalkan eksposur mereka, sering kali dengan mengaburkan batas antara aktivitas politik dan sosial."

Dalam menghadapi kompleksitas ini, KPU menekankan pentingnya koordinasi dengan badan pengawas seperti Bawaslu. Langkah ini sejalan dengan teori checks and balances dalam sistem demokrasi, yang menekankan pentingnya pengawasan antar lembaga untuk menjaga integritas proses politik.

"Kolaborasi antara KPU dan Bawaslu adalah kunci untuk memastikan fairness dalam kompetisi politik," ujar Afifuddin. "Kami fokus pada penyelenggaraan, sementara Bawaslu memiliki otoritas untuk menindak pelanggaran."

Tantangan lain yang dihadapi adalah masalah logistik dan pendanaan kampanye. KPU saat ini sedang merampungkan regulasi terkait hal ini, sebuah proses yang mencerminkan kompleksitas administrasi pemilu di negara kepulauan terbesar di dunia.

Dr. Edward Aspinall, profesor politik di Australian National University, mengomentari, "Logistik pemilu di Indonesia adalah salah satu yang tersulit di dunia. Ini bukan hanya tentang distribusi surat suara, tapi juga tentang memastikan akses yang setara bagi semua pemilih di berbagai pulau dan daerah terpencil."

Menjelang rapat kerja dengan Komisi 2 DPR, KPU juga bersiap membahas kemungkinan penyesuaian jadwal pemilihan, terutama untuk daerah-daerah dengan calon tunggal. Langkah ini mencerminkan fleksibilitas yang diperlukan dalam mengelola demokrasi di tingkat lokal, sebuah aspek yang ditekankan oleh teori desentralisasi demokrasi.

Prof. Purwo Santoso, pakar otonomi daerah dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan, "Penyesuaian jadwal pemilihan harus dilihat sebagai upaya untuk memperkuat demokrasi lokal, bukan melemahkannya. Ini adalah bentuk adaptasi terhadap realitas politik di lapangan."

Sementara persiapan terus berjalan, partisipasi publik menjadi faktor krusial yang tak boleh diabaikan. Afifuddin menyerukan peningkatan partisipasi dan kepatuhan terhadap undang-undang pemilihan untuk memastikan proses yang sukses dan adil.

"Partisipasi publik adalah jantung dari demokrasi partisipatif," ujar Dr. Amalinda Savirani, sosiolog politik dari Universitas Gadjah Mada. "Tanpa keterlibatan aktif warga, demokrasi hanya akan menjadi ritual formal tanpa substansi."

Menjelang Pilkada 2024, Indonesia berdiri di persimpangan antara idealisme demokrasi dan realitas lapangan. Tantangan administratif, logistik, dan politis yang dihadapi mencerminkan kompleksitas mengelola demokrasi di negara yang begitu beragam. Namun, upaya KPU dan stakeholder terkait dalam menghadapi tantangan ini juga menunjukkan resiliensi dan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Sebagaimana dikatakan oleh Afifuddin, "Pemilu bukan hanya tentang hari pemungutan suara, tapi tentang seluruh proses yang memastikan suara rakyat benar-benar terwakili." Pernyataan ini menggarisbawahi esensi demokrasi yang sejati - sebuah sistem yang, meski tidak sempurna, terus berupaya mewujudkan aspirasi rakyatnya.

Ketika Indonesia melangkah maju menuju Pilkada 2024, negara ini tidak hanya menguji sistem politiknya, tetapi juga menegaskan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi di tengah tantangan kontemporer. Bagaimana bangsa ini mengatasi rintangan ini akan menjadi tolok ukur penting bagi masa depan demokrasi di negara kepulauan terbesar di dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun