Mohon tunggu...
Danisa LuthfiAzura
Danisa LuthfiAzura Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Politik Desentralisasi dan Hambatan Otonomi Daerah di Indonesia

30 Oktober 2021   09:42 Diperbarui: 30 Oktober 2021   10:06 4404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Danisa Luthfi Azura

Desentralisasi merupakan fenomena lama yang timbul kembali untuk meningkatkan pembangunan kesejahteraan suatu negara. Desentralisasi menyerahkan secara sistematis dan rasional pembagian kekuasaan, kewenangan dan tanggung jawab dari npusat kepada pinggiran, dari level bawah, atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal (daerah). Sebenarnya desentralisasi tidak hanya mengatur hubungan birokrasi pemerintah di berbagai tingkat, tetapi juga mengatur hubungan antara negara dengan rakyat. Pada dasarnya otonomi berada di tangan rakyat yang mana hak politik rakyat untuk bersuara dan berpendapat perlu terus diperkuat dan diperluas agar ketimpangan atas kesempatan rakyat untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik dapat diperbaiki.

Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan sebuah desentralisasi. Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan politik otonomi adalah memelihara hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Kesatuan ini dapat disatukan melalui desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan memberi kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk melaksanakan otonominya berdasarkan paradigma pluralisme. Dalam praktek desentralisasi di Indonesia saat ini telah muncul preman atau gangster, penyebaran politik uang dan korupsi di daerah, adanya persaingan, pertengkaran, dan perkelahian untuk menguasai kekuasaan desentralisasi dan sumber daya.

Salah satu hambatan praktik desentralisasi di Indonesia adalah masih melekatnya sikap mental top-down pejabat, baik pusat maupun daerah, dalam mengatur berbagai aspek kewenangan pemerintahan. Perusahaan besar di daerah hanya mempunyai kantor perwakilan dengan staf yang tidak berwenang mengambil keputusan karena semua keputusan hanya dapat dilakukan oleh kantor pusat yang biasanya ada di Jakarta.

Kantor pusat seperti ini kecenderung hanya mau berurusan dengan instansi yang bersifat pusat juga sehingga mereka menghindar untuk berurusan dengan pemerintah daerah. Selama ini di antara aparat pemerintah berkembang dengan memerintah, bukan melayani rakyat. Birokrasi pemerintahan menjadi alat untuk mengontrol rakyat agar sikap oposisi kepada pemerintah tidak berkembang seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sering condong kepada eksekutif daripada memperhatikan kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Selain itu, prilaku korupsi sampai saat ini masih menjadi hambatan yang serius dalam proses demokratisasi dan penegakan hukum di Indonesia. Menurut data, selama tahun 2010 dari 244 pemilu kada ada 148 kepala daerah yang terpilih terjerat pidana korupsi. Selanjutnya tahun 2011 terjadi peningkatan dimana menurut penuturan Mendagri, Gamawan Fauzi terdapat 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Sedangkan tahun 2013 menurut data Kementrian Dalam negeri terungkap bahwa ada 290 kepala daerah/bupati/walikota yang terlibat dalam korupsi mulai dari yang masih berstatus tersangka hingga terpidana.

Semakin melonjaknya jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi semakin menguatkan dugaan bahwa otonomi daerah membawa dampak negatif bagi daerah. Penyerahan kewenangan bagi daerah untuk mengelola keuangan rumah tangganya sendiri menjadikan peluang terjadinya korupsi oleh pejabat daerah semakin besar karena penyusunan APBD diserahkan kepada pemerintah daerah bersama dengan DPRD, mekanismenya adalah RAPBD disusun oleh pemerintah daerah, setelah RAPBD disusun maka akan diajukan ke DPRD dan dibahas oleh DPRD dengan pemerintah daerah, setelah disetujui baru APBD disahkan dalam bentuk peraturan daerah.

Makin dekat proses pengambilan keputusan kepada rakyat maka makin besar kemungkinan untuk rakyat ikut dalam proses demokrasi. Banyak muncul pemikiran di daerah agar pemerintahan kecamatan diberi kewenangan yang lebih besar dalam mengambil keputusan tentang kebijakan pelayanan publik dan telah banyak daerah yang mulai mengarah ke praktek tersebut, seperti Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Inisiatif penyerahan kewenangan ke tingkat kecamatan merupakan langkah nyata untuk menghindari kekhawatirkan masyarakat bahwa otonomi daerah akan menciptakan Raja Kecil di kabupaten dan kota sehingga pemerintah daerah menunjukkan upaya untuk tidak menjadi "Penguasa Sentralis" baru di daerah.

Ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) pada sebuah organisasi sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah di Indonesia. SDM itu mencakup pegawai yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah, dan anjuran atasan. Selain itu harus adanya ketepatan dan kelayakan antara jumlah pegawai yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan bidang tugas yang akan dikerjakan. Untuk mendapatkan SDM yang berkualitas, ada dua jalur yang biasanya ditempuh yaitu melalui sistem seleksi ketat dengan persyaratan tertentu untuk suatu bidang pekerjaan; dan melalui pendidikan/ pelatihan tambahan setelah menjadi pegawai atau melalui model magang.

Hambatan-hambatan pada praktek demokrasi perwakilan tersebut hendaknya tidak melahirkan sikap anti sistem perwakilan. Fakta ini dapat dijadikan dasar bahwa rakyat tidak boleh menyerahkan nasibnya semata-mata kepada wakil rakyat. Nasib rakyat harus tetap berada di tangan rakyat, tetapi peran elit yang benar-benar muncul dari bawah dan hidup di tengah-tengah rakyat disebut "elit masyarakat" (society actors), bukan "elit penguasa" (state actors) tetap diperlukan.

Langkah yang perlu masyarakat ambil untuk menyikapi masalah-masalah dalam desentralisasi adalah pelembagaan dalam sektor-sektor vital masyarakat, sehingga keputusan tidak diambil sepihak oleh elit yang mana akan semakin menjauhkan masyarakat untuk memainkan peran nyata dalam menjalankan urusan politik dan pengambilan kebijakan. Tetapi, yang sangat masyarakat butuhkan saat ini bukanlah hanya prosedural semata, namun bagaimana membangkitkan partisipasi politik warga negara, kekuatan kritis masyarakat sipil, transparansi dalam proses kebijakan, serta adanya akuntabilitas kepada rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun