Mohon tunggu...
Dani
Dani Mohon Tunggu... Penulis - Guru

Dani Setiawan, anak cikal dari dua bersaudara. Lahir di kabupaten Sumedang, Provinsi jawabarat pada tanggal 02 Juli 1999. Kini dia sedang menempuh studi S-1 di Fakultas Pendidikan dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pada Suatu Hari Ketika Aku dan Tuhan Masih Tertawa

13 September 2021   21:16 Diperbarui: 13 September 2021   21:24 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang gadis berparas cantik dan bola mata bak delima, begitu enteng berkata bodoh lantas menertawaiku dengan nada mengejek. Apakah yang seperti itu yang Engkau tinggikan derajatnya tanpa berpikir ucapannya akan menyakiti seseorang? -- rumor penulis

Senin itu, kala semua orang sibuk menyusuri jalanan kota, merambahi partitur-partitur tak beraturan demi mendapatkan ilmu atau rupiah. Menyela-nyela antara angkutan kota, kalang kabut kebingungan mencari-cari jalan tikus.

Tanpa jadwal perkuliahan, tanpa bucketlist, aku hanya bisa sumarah pada bosan yang menjajah. Berkali-kali aku melihat layar handphone, berharap suara notifikasi itu dari kekasihku -- ternyata, hanya pesan tak penting dari operator, mungkin dia masih kesal dengan kejadian kemarin. Aku sudah tak karuan kala itu terus-terusan dijajah bosan, kulihat semua kontak yang ada di whatsapp-ku; ah! tanpa sengaja aku menemukan salah satu kontak dengan nama Tuhan. Ya, aku telah lama tak menghubunginya. Aku coba mengirim pesan kepada-Nya tapi disana hanya bercentang satu, mungkin Tuhan sedang tak memiliki kuota internet. Aku ilhami bahwa di langit ketujuh tidak ada yang dagang pulsa.  

Saatku telpon secara prabayar justru operator menjawab, memberitahu bahwa pulsa-ku tak cukup untuk telpon. Sial! Ada apa dengan hari ini?!


Dari kosanku ke gerai pulsa agak jauh, tapi beruntung, di depan gang Mawar terpampang spanduk bertuliskan "WARTEL" yang masih buka. Haha,, hari menyebalkan itu tak dapat lagi mengerjaiku. Dengan segera aku pergi ke wartel itu. Begitu sampai disana, terlihat seorang muda yang sedang asik berbincang -- mungkin dengan kekasihnya. Tak apalah aku menunggu sebentar, nyaris 20 menit berselang pemuda itu sepertinya menyadari kehadiranku dan bergegas mengakhiri percakapannya.


Tibalah giliranku untuk menggunakan wartel itu, aku cukup membayarnya dengan biaya yang terbilang murah. Saat kutelpon, si operator sialan itu muncul lagi, memberi tahu bahwa nomor telpon Tuhan tidak aktif.


"Mas, apakah Tuhan telah mengganti nomor-Nya?" tanyaku pada seorang penjaga wartel.
"Aduh kurang tau tuh Mas, tadi juga ada dua orang yang mencoba menghubungi-Nya tapi nomor-Nya tidak aktif, coba Mas kirim faksimile saja."
"Ah betul juga, terima kasih" dan faksimile menjadi jalan terakhir.


***


16.07 -- aku menunggu-Nya di sebuah caffe. Sepuluh menit berlalu dan Dia belum kunjung datang, kecemasan mulai menyelimutiku, apa mungkin Dia belum menerima pesanku? Berbagai pertanyan kian terbesit mengganggu. Tapi hipotesis muncul menghiburku dan mengatakan bahwa Tuhan akan datang dengan berjalan kaki, karena kebetulan semua pegawai-Nya sedang mengambil cuti untuk liburan.


Alunan musik jazz dan perbincangan muda-mudi yang dihinggapi asmara di caffe itu, membangunkan ingatan pada kekasihku -- pertengkaran pada masa itu menjadi penyebab bosan terus menjajahku.
Nyaris saja tenggelam dalam ingatan; aku dikagetkan Tuhan yang tiba-tiba duduk dihadapanku.


"Jangan melamun!" Tutur-Nya dengan nada mengagetkan.


Yang di tunggu-tunggu akhirnya datang juga, lantas kubenturkan pandanganku pada tubuh-Nya, pada dada-Nya yang lapang. Aku tertegun; hanya tersenyum heran -- masih saja Dia mau menemuiku yang hanya mengingat-Nya ketika aku butuh saja.


Napas terhela, alunan jazz makin menjadi-jadi menyelusup halus pada tiap-tiap tingkap partikel rasa -- rindu, cinta. Pandanganku teralihkan pada salah seorang pelayan cafe yang menghampiri meja kami, dengan santun memberikan menu makanan dan minuman.


"Aku pesan espresso" dengan sigap dia mencatatnya. Dari kedua bola matanya yang bersemangat; aku melihat apa yang ada dipikirannya selama ia bekerja, yaitu anaknya yang masih kecil lagi imut, serta istri berparas ayu.
"Kau mau apa?"tanyaku pada-Nya
"Jus stroberi"
Pelayan itu tak menulisnya, mengatakan bahwa stroberinya sudah habis dan menyarankan menu yang lain.


Karena Tuhan sangat menyukai stroberi, dengan segala Kuasanya, Dia tiba-tiba menumbuhkan pohon stroberi yang sangat subur di atas meja dan seketika itu juga buahnya yang besar-besar juga segar bermunculan ditambah cabang serta ranting yang kian merambah ke sudut caffe membuat rimbun suasana petang itu.
Dengan kaget bercampur kagum pelayan itu bergumam

 "Segala puji bagi-Nya, Tuhan pemilik alam semesta". Dipetik-Nya semua stroberi lalu disuguhkan pada pelayan,
"Ditunggu sebentar, ya" pelayan itu pergi dengan kurva senyum yang agak melengkung beberapa derajat  seraya menggiring semua stroberinya untuk dikudap jus.


Sambil membetulkan posisi duduk, aku bercerita tentang kekasihku; yang bergeming tanpa alinea, surut diantara kata dan makna. Kuceritakan semuanya dan Tuhan menertertawaiku;
Kata-Nya, "Memang cinta selalu bergandengan dengan yang namanya ketololan, dan kau harus menjadi terlihat tolol dulu." Mendengar-Nya tertawa akupun ikut tertawa, dan terdiam seketika setelah aku mendengar kata "tolol" disana.


Aku bertanya pada-Nya; "apakah tolol dan bodoh itu sama? Karena pernah suatu ketika Engkau berkata,

"Aku akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu";  suatu siang, aku dan teman-temanku sedang mengerjakan tugas kelompok, dan saat itu aku tak mengerti dengan tugas tersebut, pertanyaan-pertanyaan banyak kulontarkan pada mereka. Coba tebak! apa yang mereka berikan kepadaku?! Cibiran, hinaan; dari mereka yang berintelektual. Bahkan salah satu dari mereka, seorang gadis berparas cantik dan bola mata bak delima, begitu enteng berkata bodoh lantas menertawaiku dengan nada mengejek. Apakah yang seperti itu yang Kau tinggikan derajatnya?! Tanpa berpikir ucapannya akan menyakiti seseorang. Apa Kau tak mau mencabut perkataan-Mu? Menggantinya dengan "Aku akan mengangkat derajat orang-orang yang berakhlak baik".
Tapi dengan dingin-Nya Dia hanya menjawab "Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".


Bandung, 29 Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun