Mohon tunggu...
Dani
Dani Mohon Tunggu... Penulis - Guru

Dani Setiawan, anak cikal dari dua bersaudara. Lahir di kabupaten Sumedang, Provinsi jawabarat pada tanggal 02 Juli 1999. Kini dia sedang menempuh studi S-1 di Fakultas Pendidikan dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pengadilan di Ujung Pisau Ukir

22 Agustus 2021   14:40 Diperbarui: 22 Agustus 2021   14:41 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

C    E    R    P    E    N
Pengadilan di Ujung Pisau Ukir


Polisi telah mencium tindak-tanduk dari perbuatannya. Tepat pukul 14.56 waktu bagian setempat, nenek yang tengah merebah di atas ranjang reotnya dikejutkan aparat dengan derap sepatu lars yang khas dengan bagian dampalnya yang keras. Dia tau suara sepatu yang kian memekakan telinganya itu menuju ke arahnya dan akan segera tiba tepat di depan pintu. Benar saja tak lama dari dugaannya pintu terketuk agak keras, dengan berat langkah si nenek berjalan menyusuri bilik-bilik rumahnya. 

Sambil menunjukan surat kepada si nenek polisi menjelaskan maksud kedatangannya. Mendengar semua penjelasan tersebut, si nenek mematung tak bisa berkata hanya mampu menyeka beberapa titik air mata. Selang beberapa menit setelah itu, pihak kepolisian meringkus seorang pria yang adalah cucunya. Wajah sendu penuh penyesalan terlihat jelas begitu terkena semburat cahaya; dari sorot matanya tergambar sayup-sayup ribuan maaf yang tertuju pada nenek dan ayahnya yang meringis-ringis tanpa tau bahwa kejadian buruk tengah menimpa keluarganya. Tangan terborgol, wajah pucat pasi. Mencekam.


***


Di semak-semak belakang rumah, pria itu sibuk menangkap kunang-kunang. Matanya celingukan mengintai kunang-kunang yang meleng; satu terlihat tangan sigap menyergap. Kunang-kunang malang terperangkap diantara anyaman jala jemarinya yang dingin. Plung, botol kaca kembali ditutup. Kunang-kunang bimbang terbang hilir mudik tak karuan mencari celah keluar. Satu demi satu ia masukkan kedalam botol kaca hingga setengah terisi; lantas dia pergi -- berjalan dengan kecemasan yang kian berjatuhan. Dia meruncingkan pendengarannya -- sehelai saja daun jatuh dari tangkai, dengan cepat pandangan menukik menyergap objek.


Namun kunang-kunang yang ditangkapnya kali ini bukan untuk menerangi pekerjaanya dalam mencari belut, tapi ada hal lain yang ia rencanakan.
"Nek, Ujang berangkat sekarang, ya."
"Iya hati-hati, magrib tadi turun hujan ular-ular sawah akan banyak berkeliaran, jadi hati-hati salah tangkap."
"Baiklah."
"Kenapa kau bawa pisau ukir itu, bukankah gunting sudah cukup untuk membersihkan jeroan belut?."
"Eumm, i-ini u-untuk agar lebih mudah saja membersihkannya, Nek." Ia ragu untuk menjawab.
"Oh yasudah, jaketmu jangan lupa dibawa."
"Iya." Pintu tertutup; ia berjalan dengan peralatan yang biasa dibawa untuk menangkap belut.


Kabut pada malam itu cukup tebal, sinar matahari yang dipantulkan bulanpun tidak bisa menembusnya. Dalam situasi itu dia lebih percaya diri -- warga tidak akan melihatnya dan dapat dipastikan tidak akan ada seseorang yang berani keluar dalam suasana malam dengan kabut tebal nan menyeramkan. Seekor anjing penjagapun, hanya berani melolong ketakutan memohon-mohon pada tuannya agar bisa masuk kedalam rumah.


Dengan hati-hati dia menyusuri pematang sawah, jika tidak dengan sebotol kunang-kunang yang ada di genggamannya pastilah ia sudah terjerembap kedalam sawah dan membeku di sana. Dengan padi yang baru ditanam, belut malam itu banyak berkeliaran hilir-mudik cari cacing atau berkawin. Melihat belut yang banyak itu sempat membuyarkan pikirannya dan hampir saja membatalkan tujuannya; tapi tekad yang kuat dan sedikit bisikan Ifrit untuk merubah nasibnya amat menggebu, di bayangannya dengan cara itu ia bisa meraih kesuksesan dengan instan.


Mendekati pedesaan ia memelankan langkahnya, hingga binatang malam yang sedari awal bercengkerama dengan sanak familipun tak menyadari kehadirannya. Dia meraba pisau ukir yang digantunngkan di pinggang kanannya. Pakaian serba hitam yang berkamuflase dan menyatu dengan kegelapan. Mengendap-endap dengan jalan membungkuk pelan-pelan.
Di balik pohon mangga ia perhatikan dengan cermat situasi desa di sana. Tak ada warga yang berjaga, mungkin karena suasana malam yang dingin dan kabut tebal begitu menyelimuti. Tujuannya adalah rumah kepala pabrik yang megah, letaknya tepat diantara rumah ke-dua milik Pak Kades dan rumah ke-empat milik tukang jagal.


Tenanglah wahai hati, dengan ketenangan mereka tidak akan terganggu dan tenang lah wahai hati yang bersemayam di dada-dada warga desa, tidurlah dengan nyeyak. Gumamnya dalam hati adalah sebuah mantra keberanian. Sekali lagi ia meraba pisau ukirnya.


 Dengan ketenangan dia berjalan mendekati semak-semak yang ada di belakang rumah pertama. Terdiam -- menerawang keadaan dalam rumah. Di kegelapan malam yang pekat dia mendesis mengulang mantra ngawur tadi. Keadaan rumah pertama rupanya baik-baik saja, tak ada suara apapun dari dalam. Rumah Pak Kades tujuan selanjutnya. Di sekitaran rumahnya bunga-bunga banyak mengerumuni, menjadikan rimbun beranda rumah. Itu perbuatan istrinya yang ayu. Tentu menguntungkan baginya yang punya maksud lain. Tak ada halangan di rumah Pak Kades, bahkan tak butuh waktu lama untuk mengetahui keadaan rumahnya.


Keringat dingin bercucuran menyela-nyela antara barisan bulu alis tebalnya. Jantung berdegup kencang tanpa ritme yang jelas. Bersungkur dia menenangkan hati dan pikirannya, mengambil nafas dalam. Tangan dinginnya mengusap wajah pucatnya.


Ssstttt,, tenanglah ini pekerjaan mudah. Jangan sampai mereka bangun, apalagi tukang jagal itu, bisa mati tergorok nanti. Kembali dia mengambil nafas panjang. Tenanglah wahai hati, dengan ketenangan mereka tidak akan terganggu dan tenang lah wahai hati yang bersemayam di dada-dada warga desa, tidurlah dengan nyeyak. Hati dan pikiran mulai bisa dia kuasai.


Sambil mengenakan kaus kaki dia mengambil pisau ukir di pinggangnya, lalu bangkit -- berjalan perlahan dengan penuh hati-hati mendekat ke jendela belakang rumah kepala pabrik itu. Kusen kayu jati itu bukan masalah bagi pisau ukirnya. Sedikit demi sedikit dia menyayat kusen itu hingga nampak selot kunci jedelanya, lantas dengan mudah dia membuka jendelanya. Dengan sangat hati-hati ia menjaga agar tidak ada suara apapun yang bisa membangunkan penghuni rumah.


Ada banyak pintu di dalam rumah. Ia perhatikan satu persatu lalu menebak pintu mana yang paling bagus dan besar, tanpa tahu pasti kamar kepala pabrik itu. Karena kaus kaki yang ia kenakan sebelumnya, langkah kakinya nyaris tak terdengar sama sekali. Di lantai dua dia menemukan satu pintu berwarna putih mengkilap yang tertutup rapat. Pintu itu tidak terkunci dan dia masuk dengan leluasa tanpa harus mencongkelnya. Tampaklah dua tubuh yang sedang terlelap di atas ranjang.


Tangan kirinya masih menggenggam pisau ukir dan tangan kanannya merogoh saku celana mengambil ramuan yang ia racik sendiri; biasanya ia gunakan untuk meracun ikan atau belut. Namun kali ini dia membuat ramuan itu dengan dosis yang amat tinggi, bisa membuat manusia pingsan selama 24 jam. Ditaburkanlah ramuan itu kedalam serbet kecil yang ia bawa lalu dengan sigap menempelkan serbetnya ke hidung kepala pabrik itu hingga menyumbat saluran pernapasannya.


Sekuat tenaga kepala pabrik itu meronta-ronta, tangannya berusaha mendorong, mencekik, memukul-mukul; namun apa daya ramuan itu telah banyak terhirup jauh kedalam syaraf-syaraf ototnya. Mau tidak mau kepala pabrik itu harus mengalah pada bagian tubuh yang mulai lemah, untuk menahan kelopak mata agar tetap terbuka pun tidak bisa. Dia pingsan seketika. Hal yang sama ia lakukan kepada istrinya.


Bajingan! Tak sedikitpun rasa ibaku terlontar kepadamu, setelah apa yang kau lakukan kepada masyarakat; terkhusus kepada keluargaku. Kau perkosa lahan para petani; kau cemari sawah mereka dengan limbah-limbah pabrik. Kau gusur rumah-rumah kami demi pembangunanmu. Terkutuklah! Terkutuklah!.


Dia mulai menghunjam-hunjamkan pisau ukirnya yang runcing ke arah kepala, menyayat bagian dahi memutar ke belakang kepala sampai akhirnya bertemu kembali di titik awal sayatan. Darah bersimbah seisi kamar memerah. Bau anyir menyelimuti menggangu indra penciuman. Keringat dingin kembali bercucuran bersamanya mengalir pula kegeilsahan. Rasa iba membuatnya lemah, ia menolak semua itu dengan terus melontarkan kutukan. Pisau ukirnya tak berhenti menghunjam, menyayat hingga liak-liuk otak menyembul dengan urat-urat merah darah. Diangkatlah otak dari batoknya, kemudian di letakan di atas meja rias.


Dia duduk di depan meja rias dengan cermin besar di hadapannya. Tangan kirinya terkulai lemas. Tangan kanannya bergetar sekuat tenaga.  Keletak, pisau terjatuh.


"Ah, ayolah aku tak punya banyak waktu!". Memberanikan diri dia menyayat kepalanya sendiri menghunjam seperti yang dilakukannya kepada kepala pabrik tadi, membelah tulang tengkoraknya. Wajah pucat pasi. Mata membelalak. Darah mengalir melewati kelopak mata, telinga, dan lehernya hingga melumuri seluruh badannya. Lewat dagunya darah kental merah kehitaman menetes penuhi meja rias. Darah bersimbah. Bau anyir menambah pekat kamar itu. Kepalanya terbagi dua, bagian terpotong ia simpan di samping otak kepala pabrik. Dia mengangkat otaknya; menyimpannya ke dalam wadah tempat ia biasa menyimpan belut-belut tangkapannya. Lalu memasukan otak kepala pabrik itu kedalam batok kepalanya dan menutupnya kembali dengan bagian terpotong tadi. Sedang kepala pabrik itu dibiarkannya tak berotak.


Mampus! Tak ada gunanya juga kau diberi anugrah otak oleh Tuhan, lebih baik kau berkepala tanpa otak. Toh pada kenyataanya, kau tak perhitungkan dampak dari pembangunan pabrikmu. Kau hanya turuti ego-mu. Dengan uang, kau gusur rumah-rumah kami, sawah, serta ladang. Tengah malam kau kirim preman ke rumah-rumah kami, memaksa agar menjual tanah-tanah kami -- mengancam. Kau tau? Ketika bapakku mempertahankan sawahnya yang sekarang berdiri bangunan gagah milikmu, mereka preman-preman bajingan melawannya dengan kekerasan -- membenturkan kepalanya hingga tak sadarkan diri dan sekarang dia menjadi gila tak mampu berbuat apa-apa. Lain kali aku ambil hatimu!.


05.00 dini hari. Di rumah, neneknya menanyakan belut-belut tangkapannya. Dia menyangkal pertanyannya, menjanjikan pekerjaan yang lebih layak dan menggantikan otak bapaknya yang rusak dengan otak miliknya.

Bandung, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun