“Kawan, kita akan sangat amat ‘bertenaga’, ketika diri kita di ‘push’ oleh niat dan obsesi besar lagi mulia yang kita patrikan di jiwa. Ada kekuatan yang sangat dasyat yang muncul secara otomatis yang dipantik oleh sebuah burning desire. Kondisi ini akan menjadi seperti hantu yang memang terus menghantui. Bahkan akan terbawa mimpi. Saya yakin Ahok bahkan di dalam mimpinyapun akan membela rakyat. Karena nasib dan impiannya memang ditentukan oleh rakyat. Tuhanpun akan dihardiknya ketika Sang Tuhan – yang baginya bukanlah Tuhan – menyulitkan rakyatnya. Karena Tuhan yang sesungguhnya tak akan pernah berpihak kepada kezaliman. Demikian menurutnya.”[]
***
Mengapa publik di negeri ini seperti tersedot pada kharisma seorang Ahok? Apa yang menyebabkan Gubernur DKI yang tak lagi berpartai politik ini begitu populer?
Dua pertanyaan ini akan kita urai secara implisit agar bisa kita tarik benang merahnya sebagai poin pembelajaran bagi kita semua dan bagi siapa saja yang mau menjadi pemimpin di segala lini dan jenjangnya di negeri ini. Anda berniat menjadi pemimpin di wilayahmu, kawan?
Ahok bagi mayoritas orang, tak hanya di Ibukota, seumpama anak tiri ibu negeri yang sedang memegang harta pusaka bergilir (mirip piala bergilir) yang seharusnya tidak boleh dia terima. Namun, kenyataannya saat ini – karena sesuatu dan lain hal, kita sudah sama-sama tahu – dia memang sudah memegangnya dengan erat. Secara de facto dia tidaklah mewarisinya apalagi mencurinya, justru dia merawatnya, paling tidak itu menurut hematku.
Selama ini pemegang harta warisan ini adalah anak-anak, yang menganggap dirinya sebagai anak syah sang Ibu tadi, namun sayangnya pengelolaannya tidaklah sebaik dan setepat yang diharapkan oleh saudara-saudara kandungnya yang lain dari keluarga besarnya.
Harta tersebut bukannya dipelihara dan menjadi berkah bagi sesama, justru berkurang dan tergerus. Tercecer di sana-sini. Sehingga tak utuh lagi. Compang camping dan berserakan tak menentu. Cuma segelintir orang saja yang mengenyam nikmatnya, yang lainnya semakin kurus, lunglai dan ceking saja.
Sebaliknya, Ahok, dengan gaya uniknya, yang tentu saja didasari oleh tujuan mulia, mampu mengelola harta tersebut secara baik dan profesional. Alhasil mayoritas orang yang tadinya tak setuju-setuju amat tergerak hatinya untuk memberikan approval dengan penuh sukacita dan sukaria. Bahkan mereka berubah haluan yang tadinya antipati, tak peduli bahkan memaki, kini mengelu-elukannya. Lalu dengan penuh harap mereka memintanya untuk terus berada di posisinya sebagai pemegang warisan bergilir tersebut untuk periode berikutnya, bahkan mungkin berikutnya lagi.
Mereka berpikir bahwa Ahoklah orang yang pantas dan ideal yang selama ini mereka cari. Ahok sebenarnya justru anak kandung yang dirindukan dan telah lama hilang entah tercecer di mana, dan ketika muncul di kali pertama dikira Ahok adalah anak haram dari selir yang tak jelas.
Di awal kemunculan Ahok sebagai Wagub-nya Pak Jokowi, banyak orang terperangah melihat kemenonjolan beliau sebagai “sekadar” Wakil Gubernur. Dengan tanpa ada rasa risih sedikitpun dia berkiprah dan bermanuver. Rapat-rapat diselenggarakan secara terbuka, transparan dan didokumentasikan lalu diunggah di Youtube untuk kemudian ditonton oleh banyak orang bahkan di seantero jagat. Setiap orang boleh mengaksesnya tanpa ada filterisasi kultural, kearifan lokal dan kelaziman.
Sebagaimana ‘kewajaran’ selama ini bahwa seorang Wagub hanyalah pemeran figuran dari sebuah megasinetron hampir di seluruh pemerintahan di wilayah negeri ini. Bahkan kerap kali seorang Wagub tak lebih dari ban serep, yang hanya dipakai ketika ban utamanya pecah sehingga tak dapat difungsikan. Dan kejadian ini, kawan, memang sangat teramat jarang terjadi,