Kabupaten mungil yang dipepet antara kota Tegal dan Pekalongan, di tengahnya ada Pemalang di situlah saya dilahirkan dan dibesarkan. Begitu kiranya saya menjelaskan kepada orang-orang baru saya kenal ketika berada di perantauan dan ditanyakan mengenai rumahnya. Dalihnya, mereka tidak mengetahui Pemalang, hanya sekilas dari berita mengenai kasus korupsi, berbagai pembunuhan, bahkan kemiskinan yang merajalela. Kegeraman serontak datang dari hati terdalam yang tertahan oleh lidah yang diam menghambat suara "memang begitulah Pemalang, sudah lumrah dan marak diperbincangkan, hanya diperbincangkan bukan dipertindakan".
Lantas, bagaimana Pemalang bisa menuju kepada Pemalang yang tulen? Apa tugas kita sebagai warga Pemalang? Suatu tindakan bejat jika diam menganga sebagai simbol perjuangan. Benar kata bung Karno, perjuangan kita akan lebih sulit karena melawan bangsa kita sendiri, melawan orang yang kita kenali, bahkan melawan orang yang kita coblos saat pemilihan.Â
Namun, suatu penghianatan besar jika kita tetap membiarkan suara-suara bajingan yang meluap melebihi kita. Akan sampai mana malangnya Pemalang? Malangnya tidak akan terasa bagi orang yang diam, permainan politik terlalu tulen dimainkan bagi keluarga, teman sebaya ataupun teman bermain waktu kecilnya, hingga nepotisme dimainkanlah di sini. Kegeraman muncul begitu dahsyatnya, sehingga menggairahkan saya membuka laptop dan menuliskan luapan derita.
Dari atasan atau penyelenggara, baik pemerintah maupun non pemerintah mempermainkan Pemalang sebagai tempat usaha yang memiliki ladang uang berlipat ganda. Derita kegeraman mungkin datang bagi para aktivis yang telah mengetahui seluk beluk ketidak nyamanan kabar perihal koruptor, nepotisme, atau ketidaknyamanan lainnya yang mengganjal dan mungkin mengendap di akal.Â
Perihal nepotisme yang lancar dijalankan dari pemerintah tingkat daerah, masih 'demi' kehidupan yang layak bagi sanak saudaranya, bukan berdasarkan kepentingan menyeluruh dalam artian masyarakat secara penuh. Malangnya Pemalang sudah terlaksana santun dari pemegang kekuasaan. Terlalu santun hingga yang seharusnya peradaban Pemalang sudah menjulang tinggi di era teknologi, masih menggunjingkan otaknya pada sekujur jalanan yang rusak menghambat jalanan pejabat.Â
Kemudian, kita pandang dari sudut desa, anggaran yang jumlahnya sekian juta, ke mana perginya? Masyarakat biasa, tidak memiliki akses menuju informasi demikian bagaimana bisa mengerti? Kejanggalan-kejanggalan yang memberontak alur pikiran, tidak usah penulis sebutkan nominal, ataupun tindakan pemerintah kepada masyarakatnya. Kesedihan bahkan geram bagi para aktivis jika menggali terlalu dalam.
Mayoritas hidup di Pemalang
Beberapa orang muda telah saya temui, diskusi mengenai Pemalang yang seharusnya, tidak diguncang kemiskinan, pemerintah tidak sewenang-wenangnya. Namun, cerita gemetar malahan mengadu nasib antar mulut, sudah menciri khaskan Pemalang, kota yang tidak dikenal dan kota yang begini-begitu saja, jika ingin sukses ya keluarlah dari kota ini. Kebosanan sudah melekat mendarah daging bagi para menghuninya, lihatlah mayoritas merantau, mereka kebingungan akan makan apa jika terus menerus hidup di sini? UMR rendah, pabrik melimpah namun lowongan sekedar bagi orang berijazah tinggi. Mendaftar kerja sana-sini susah, kecuali dengan adanya orang dalam yang telah menyatu dengan tulang sebagai azas diterimanya kerja, jika harus berdagang, melihat orang dagang kelontongan saja sepi pembeli, mau tidak mau keluar kota adalah jalan pintasnya. Jika harus menjadi petani, maraknya pupuk dengan harga tinggi sudah lama dikeluhkan masyarakat, namun belum ada tindakan yang men-sudahkan keluhan itu, pemerintah sekedar mendokumentasi hasil panennya, bukan pada perjuangan yang dilantunkan melalui keringan panasnya di bawah terik matahari.
Pancasila yang dijadikan pedoman hanyalah hiasan dinding yang merekat pada kuil pemerintahan. Rakyat yang seharusnya diberi kehidupan layak, dianggap sebagai pengemis yang harus dikasihani.Â
Sejauh mana wakil rakyat mengemban amanahnya, sekedar dicoblos kemudian menikmati kursi pemerintahan. Jabatan dinilai sebagai invetasi masa depan tanpa rasa malu menginginkan 'perpanjang jabatan' dengan kemungkinan alasan belum balik modal. Padahal, sebagian masyrakat merasa geram atas sewenang-wenangannya itu.Â
Hidup di Pemalang pasti sering kali mengendapkan suara-suara kritik mengenai ketidakjelasan, lagi-lagi suara itu harus terdiam menenggelakan amarahnya, karena kekuasaan tertinggi lebih dikira berhak mengenai suaranya sendiri atau bahkan suara rakyat hanyalah disebut nyanyian derita yang didengar oleh parlemen di gedung sana.
Mengakhiri kemalangan
Sambil mengenang salah satu kata Widji Thukul, "bila rakyat tidak lagi berani mengeluh, itu artinya sudah gawat". Pemalang, keluh atau tidak saya pandang selalu diam entah karena apatis karena sudah tahu seluk-beluk kelakukan pemerintah atau tidak ingin tahu menahu mengenai itu. Tidak ada lagi jalan mengakhiri kemalangan selain dari diri kita sendiri. Tidak ada universitas, gramedia, bahkan bioskop yang dinilai merupakan sebuah keberadaan kota maju, mau tidak mau harus menyusuri kota tetangga mengais ilmu ataupun rejeki kemudian tuangkan pada Pemalang. Menuangkan tidak semudah teko kepada gelasnya, melainkan menambal terlebih dahulu gelas yang bocor begitulah keadaan Pemalang.
Potensinya, pemuda akan ada masanya sebagai pembaharu Pemalang, demi mengakhiri kemalangan yang lama dijalankan, mengakhiri diam yang disudutkan oleh kekuasaan, kemudian mengakhiri kebodohan melalui tersedianya sumber daya pendidikan. Lagi dan lagi 'sadar' akan keberadaan kita sebagai orang Pemalang sudah seyogyanya dijalankan, dimulai dari diri sendiri sebelum memerintah atau memberikan asumsi kepada orang lain.
Lemahnya kritik terhadap pemerintah menjadikan kewenangan individual bebas lancar dijalankan. Demonstrasi ataupun unjuk rasa sekedar sampai batas doa, belum terealisasikan kungkungan melepaskan derita, kiranya begitu, kurangnya kesadaran menjrumus menuju kurangnya masa. Tulisan-tulisan kritik semoga tetap mengepakan sayapnya. Dunia tidak lagi sekedar milik para pejabat, justru seharusnya pejabat berada di bawah kekuasaan masyarakat, omongan para pejabat yang sekiranya salah haruslah dibantah.
Tulisan omong kosong ini anggap saja sebagai pembuka memupuk kesadaran. Beberapa tongkrongan berdiskusi sering kerap terkungkung oleh keadaan "bagaimana harus bertindak?" independensi mengutarakan akalnya, melalui tulisan kritik mungkin akan sampai ke singgasana parlementer. Rakyat bebas berasumsi, bebas pula bertindak ketika kejanggalan dalam pemerintahan tidak bisa dibungkam secara diam. Hal ini, demi menghilangkan Pemalang yang malang, kekurangan dalam hal refrensi bahkan sumber daya potensi. Nrimo ing pandum bukan maksud sebagai diam ketika melihat pemerintahan bengis, diam hanya akan melahirkan kesedihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H