Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Nestapa Gen Z, Sulit Cari Kerja di Saat Pejabat Asyik Titip Keluarga dan Kolega

4 Juli 2024   10:56 Diperbarui: 4 Juli 2024   11:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika lulus kuliah, tetangga yang bekerja di pemkab memberi informasi lowongan kerja untuk posisi analis peraturan daerah. Kebetulan, kualifikasi pendidikan saya sesuai. 

Saat itu, pemkab membutuhkan dua orang. Satu laki-laki dan satu perempuan. Tetangga saya berujar, "maaf gak bisa bantu banyak, cuma bisa kasih info." Saya tahu maksud kalimat itu. 

Intinya, saya belum tentu diterima. Tentu saya ucapkan terima kasih karena sudah diberikan informasi yang mahal. 

Singkat cerita, saya datang ke pemkab membawa surat lamaran lengkap. Setibanya di sana, banyak yang heran, mengapa saya bisa mengetahui loker ini. 

Saya menjawab jika saya mendapat informasi dari tetangga yang kerja di sini. Pegawai di sana mengatakan saya akan diwawancara oleh calon atasan. Hanya saja, calon atasan saya tidak hadir. 

Saya disuruh pulang dan akan dikabari paling lama dua minggu. Dua minggu berlalu, kabar tidak ada. Saya akhirnya ikhlas dan memang posisi yang saya incar sudah diisi. 

Menurut tetangga saya, posisi analis itu diisi oleh perempuan dua-duanya. Padahal di pengumuman jelas dibutuhkan satu laki-laki dan satu perempuan. 

Lebih jauh, tetangga saya mengatakan jika salah satu di antara mereka merupakan kerabat dari pegawai pemkab tersebut. Jadi, saya yang tidak memiliki kerabat tersisih. 

Pejabat titip kolega

Kisah di atas murni terjadi pada saya tahun 2021 lalu. Ungkapan "si orang dalam" memang benar adanya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum. 

Budaya orang dalam tentu melestarikan praktik nepotisme dan mengkerdilkan meritokrasi. Seseorang mengisi posisi strategis bukan karena kemampuan, tapi karena kedekatan. 

Parahnya lagi, nepotisme macam itu tidak terjadi di tingkat swasta. Bahkan tingkat pemerintahan seperti kisah di atas. Hal itu bisa kita lihat dari berita yang berseliweran bulan lalu. 

Di mana para jebat asyik menitip kolega sementara gen z sulit mencari kerja. Sebut saja kasus yang menimpa mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). 

Selain menggondol uang negara, SYL dengan leluasa menitipkan sang cucu, Andri Tenri Bilang di Biro Hukum Kementan dengan bayaran cukup tinggi. 

Selain keluarga, SYL juga mengangkat rekan satu panji di Nasdem yaitu Joice Triatman sebagai staff khusus Kementan. 

Tentu yang bikin publik geleng-geleng kepala adalah SYL mengangkat seorang biduan sebagai tenaga honorer. Parahnya, sang biduan hanya masuk satu kali. Tapi, gaji tetap mengalir. 

Tidak berhenti di situ, meski pasangan Prabowo Gibran belum dilantik, tapi bagi-bagi jabatan sudah dimulai. Khususnya untuk posisi komisaris. 

Misalnya Grace Natalie dan Fuad Bawazier, keduanya menjabat sebagai komisaris di PT Mineral Industri Indonesia. 

Selain Grace dan Fuad, Siti Zahra Aghnia, istri dari Komandan TKN Pemilih Muda (TKN Fanta) Muhammad Arief Rosyid Hasan, sebelumnya ditunjuk jadi komisaris independen PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan BBM. 

Joko Priyambodo, menantu hakim konstitusi Anwar Usman (adik ipar Jokowi), saat ini juga menjabat direktur pemasaran dan operasi PT Patra Logistik, anak usaha Pertamina yang menyediakan jasa logistik hilir.

Nama-nama tersebut mendapat sorotan dari warganet, utamanya karena posisi yang diisi strategis. Tentu untuk mengisi posisi tersebut dibutuhkan pengalaman dan pendidikan yang mumpumi. Poin ini yang menjadi sorotan utama netizen. 

Apa yang dilakukan pejabat di atas tentu sebuah ironi. Pasalnya, angka pengangguran di kalangan gen z (usia produktif) tinggi. 

Gen Z sulit cari kerja

Beberapa waktu lalu, di media sosial ramai antrean pelamar kerja di warung seblak. Antrean didominasi perempuan yang kompak memakai baju hitam putih. Tentu ada harapan besar di balik amplop cokelat yang mereka bawa, ya sebuah pekerjaan. 

Dilihat dari sekilas pun, para pelamar itu masuk kategori gen z. Hal ini semakin menegaskan data yang dihimpun kompas benar, di mana gen z sulit mencari kerja di sektor formal. 

Hasil temuan kompas dan BPS pada bulan Februari 2009, 2014, 2019, dan 2024 menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. 

Pekerjaan sektor formal yang dimaksud adalah pekerjaan dengan perjanjian perusahaan berbadan hukum. 

Pada periode 2009-2014, lapangan kerja sektor formal menyerap 15,6 juta orang. Periode selanjutnya, yaitu 2014-2019 menurun menjadi 8,5 juta orang. Periode selanjutnya 2019-2024 kian menurun, hanya menyerap 2 juta orang. 

Selain menyempitnya lapangan kerja di sektor formal, angka pengangguran di kalangan gen z juga cukup tinggi. 

Menurut BPS, hampir 10 juta penduduk Indonesia berusia 15-24 (gen z) mengganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and traing NEET).

Jika dirinci, sebanyak 5.2 juta anak NEET justru berada di perkotaan. Sementara sisanya, 4.6 juta di pedesaan. 

Menurut Menaker Ida Fauziah, hal tersebut terjadi karena ketidaksesuaian jenjang pendidikan dengan lapangan kerja yang tersendia. Itu sebabnya, banyak dari mereka justru lari pada sektor pekerjaan nonformal seperti gambaran warung seblak di atas. 

Jika praktik nepotisme terus terjadi hingga ke akar rumput, maka cita-cita Indonesia emas hanya sebatas omong kosong. 

Hal itu karena praktik nepotisme hanya akan mematikan talenta yang benar-benar berkapasitas dan berintegritas yang ingin masuk dunia kerja lewat sistem meritokrasi. 

Parahnya lagi, nepotisme seakan mengakar di segala aspek. Bahkan di pemerintahan. Tentu praktik semacam itu bisa menimbulkan efek domino, yaitu korupsi. 

Sistem rekrutmen yang tidak sehat hanya akan melahirkan budaya korup. Apalagi, jika posisi yang ditempati begitu sentral. Maka, konflik kepentingan bisa saja terjadi. 

Selain membuka praktik korupsi, rekrutmen yang tidak sehat hanya akan menambah pengangguran baru karena angkatan kerja baru terus bertambah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun