Piala Eropa memang mengundang urat syaraf khususnya bagi negara-negara Balkan yang memiliki sejarah panjang. Akibatnya konflik masa lalu itu seolah terus diwariskan hingga kini, bahkan masuk ke ranah sepak bola.Â
Warisan Konflik Masa LaluÂ
Yugoslavia merupakan negara multientik di Eropa Tenggara (Balkan) yang menganut sistem partai tunggal setelah Komunis memegang kekuasaan.Â
Memasuki abad ke-20, perang dingin memang telah berakhir. Akan tetapi, di Eropa tetap bergejolak khususnya di Balkan.Â
Yugoslavia berada di ujung perpecahan hal itu karena etnis-etnis seperti Kroasia, Slovenia, Bosnia, Makedonia, hingga Kosovo ingin memerdekakan diri. Hanya Serbia yang ingin mempertahankan Republik Federal Sosialis Yugoslavia.Â
Sementara Albania merupakan pengecualian karena telah merdeka sejak tahun 1926. Pada tahun 1946, bentuk negara Albania berubah dari kerajaan menjadi republik.Â
Pada awal 1990-an, terjadi perpecahan yang membuat Yugoslavia runtuh pada tahun 1992.
Meninggalnya Josep Broz Tito membawa dampak luar biasa bagi Yugoslavia. Hal itu karena terjadi konflik antaretnis, bahkan hingga agama.Â
Kondisi itu semakin parah dengan terpilihnya Slobodan Milosevic sebagai Presiden Serbia pada 1989. Hal itu karena Milosevic membawa kebijakan yang diskriminatif.Â
Tentu hal tersebut tidak bisa lepas dari pengalaman masa lalu. Di mana saat Serbia bergabung dengan Yugoslavia hak mereka seakan dikurangi.Â
Seiring dengan runtuhnya komunisme di Eropa, maka bibit-bibit nasionalisme pun mulai muncul. Itu sebabnya negara bagian yang berada di Yugoslavia ingin memerdekakan diri.Â
Pada tahun 1991, Kroasia dan Sloevnia memerdekakan diri dari Yugoslavia. Setelah itu, disusul oleh Makedonia dan Bosnia Herzegovina yang memisahkan diri dari Yugoslavia.Â