Pemilu kian dekat. Salah satu rangkaian pemilu adalah kampanye. Cara kampanye pun beragam, mulai dari konvensional hingga digital.Â
Meski sudah memasuki era digital, metode kampanye konvensional seperti memasang baliho atau stiker masih digunakan. Hampir di seluruh penjuru kota diisi oleh baliho.
Di sekitar lingkungan penulis, baliho bertebaran dengan beragam ukuran. Baliho menghiasi jalan utama hingga gang sempit. Tak hanya baliho, stiker pun kerap ditemui di jendela rumah warga.Â
Lalu, mengapa kampanye metode seperti ini masih dipakai padahal era sudah memasuki digital?Â
Merusak estetika kota
Di setiap sudut kota, hampir dihiasi oleh baliho. Entah itu baliho capres atau baliho caleg. Tak hanya itu, baliho yang dipasang terlalu memakan banyak ruang sehingga merusak estetika kota.Â
Misalnya baliho yang dipasang di monumen Welcome to Batam yang menjadi polemik. Contoh lainnya adalah baliho PSI di Jakarta yang jatuh menimpa pemotor.Â
Banyak baliho yang dipasang di sudut kota secara sembarangan dan memakan ruang publik. Sehingga estetika kota kota menjadi rusak. Untuk itu, pemasangan alat peraga kampanye berupa baliho harus berkoordinasi dengan pemda setempat agar tidak merusak estetika kota.
Di daerah penulis, ada baliho yang dipasang di fasilitas publik seperti di jembatan penyebrangan orang. Bagi penulis, baliho seharusnya dipasang di area terbuka, bukan di fasilitas publik.Â
Di sisi lain, kita pun menjadi bertanya, sejauh mana efektivitas baliho dalam mendongkrak elektabilitas calon?Â
Tentu dengan memasang baliho yang mencolok setidaknya ada kekuatan untuk menarik perhatian. Selain itu, bagi penulis ada pasar tersendiri mengapa baliho masih tetap dipakai.Â