Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Rohingya dan Narasi Negatif yang Terus Melekat

29 Desember 2023   16:59 Diperbarui: 29 Desember 2023   17:19 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia perahu. Itulah sebutan bagi para pengungsi Rohingnya. Sebutan itu disematkan pada mereka karena harus terkantung-kantung di lautan dengan perahu kayu. Alasan mereka melakukan itu karena di negaranya, yaitu Myanmar mereka menjadi korban genosida Junta Militer. 

Tentu naluri alamiah makhluk hidup yang ingin hidup aman. Maka sudah sewajarnya mereka meninggalkan kampung halaman karena tidak aman. 

Namun, kejadian memilukan terjadi pada Rabu 27 Desember 2023. Para pengungsi Rohingnya yang ada di Aceh dibubarkan secara paksa oleh mahasiswa. 

Dari video yang beredar, ketakukan sangat jelas tergambar dari raut wajah mereka. Tangis pun pecah. Kaum rentan seperti anak-anak dan perempuan turut menjadi korban.

Dalam rekaman pun, para mahasiswa terlihat bersiap membubarkan Rohingnya yang tengah sholat. Barang-barang mereka ditendang. Yang jelas, aksi nirempati telah dipertontonkan di sana. 

Menariknya lagi, salah satu mahasiswa yang diwawancarai membeberkan latar belakang aksi tersebut. 

Si mahasiswa berujar jika mereka (Rohingya) sering melakukan hal yang tak masuk akal seperti mogok makan, minta tempat yang layak, bahkan katanya mereka tidak diundang. 

Tentu bagi saya argumen itu tidak masuk akal. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan adalah hak dasar setiap manusia. Lalu, perihal diundang, apakah mereka mau melakukan itu? Yang jelas mereka mengungsi adalah jalan yang harus ditempuh untuk tetap hidup. 

Entah mengapa sentimen negatif pada Rohingya begitu deras. Jika anda buka kolom komentar instagram dan tiktok, netizen berkomentar sangat sadis. Bahkan ada yang menyebut tangisan ketakukan itu sebagai paduan suara. Sungguh nirempati. 

Sekilas tentang Rohingnya 

Ada satu hal penting yang mungkin tidak disampaikan secara utuh. Yaitu siapa orang-orang Rohingnya ini dan mengapa mereka harus mengungsi. Informasi ini menguap dan yang muncul adalah narasi kebencian. 

Menurut UNHCR, Rohingya adalah kelompok etnis minoritas muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar, di mana mayaritas penduduknya beragama Buddha.

Di sisi lain, masih ada silang pendapat di kalangan sejarawan tentang Rohingnya. Ada yang menyebut Rohingya telah tinggal sebelum Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948.

Jika mengacu pada pendapat ini, maka sudah sepatutnya Rohingnya masuk ke dalam etnis Myanmar. Di sisi lain, ada pendapat lain yang menyebut mereka baru muncul sebagai kekuatan identitas dalam seabad terakhir.

Pendapat kedua ini menyebut bahwa Rohingya sebagai pendatang baru yaitu subkontinen India. 

Namun, momentum kelam bagi Rohingnya terjadi pada tahun 1982. Saat itu, Pemerintah Myanmar menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan di mana Rohingnya tidak termasuk ke dalam rasa nasional Myanmar. 

Akibatnya masyarakat Rohingya menjadi stateless alias tidak memiliki kewarganegaraan. Sejak saat itulah perlakuan diskriminasi terhadap Myanmar dimulai.

Puncaknya tentu terjadi pada tahun 2017. Saat itu glombang kekerasan di Negara Bagian Rakhine memaksa lebih 742.000 orang di mana setengahnya anak-anak mencari perlindungan di Bangladesh.

Ini menjadi eksodus terbesar dalam sejarah Rohingya. Seluruh rumah dibakar, ribuan orang dibunuh dan banyak laporan mengenai pelanggaran HAM lainnya. 

Atas dasar itulah Rohingya memilih meninggalkan Myanmar. Sebagai makhluk hidup, sudah sifat alami jika mencari tempat aman dan itu merupakan salah satu hak dasar manusia.

Bukan kali ini saja Rohingya datang ke Indonesia. Pada tahun 2015, Indonesia tercatat pernah 583 orang Rohingnya. 

Puncak terbesarnya tentu tahun 2023 ini. Lebih dari 1000 orang Rohingya mengungsi ke Aceh. 

Menariknya sikap masyarakat berbeda. Pada saat itu, dukungan pada Rohingya mengalir begitu deras. Mungkin karena pengalaman pertama itulah Rohingya kembali memilih Indonesia. 

Akan tetapi, reaksi berbeda terjadi hari ini. Rohingya seakan tidak lepas dari narasi negatif. Ada perbedaan sikap di masyarakat. Mengapa bisa demikian? 

Minsinformasi dan peran influencer 

Penolakan terhadap Rohingya mulai terasa. Akan tetapi, yang disayangkan adalah narasi yang dibawakan adalah hoax. 

Misalnya ada narasi yang menyebut bahwa Rohingnya demo di Malaysia meminta tanah. Padahal, faktanya mereka berdemo agar Junta Militer menhentikan aksi genosida. 

Parahnya lagi, informasi hoax tersebut diplintir oleh influencer baik itu di tiktok atau di instagram. Mereka yang memiliki pengikut yang besar itu sangat berpengaruh dalam menebarkan kebencian pada Rohingya. 

Selain itu, banyak konten sepotong-sepototong mengenai Rohingya yang membuat netizen tersulut. Potongan-potongan tidak jelas itu dibagikan oleh akun anonim dengan pengikut yang besar. 

Menurut analisa Drone Emprit, sentimen negatif sering dilontarkan oleh akun fanbase hingga akun meme. 

Menurut hemat penulis, akun-akun itu seperti menyiram bensin di percikan api. Belum lagi, potongan-potongan sepotong itu disebarkan lagi oleh influencer tidak bertanggung jawab. 

Pada akhirnya misinformasi ini menyebar luas dan masyarakat mulai terpengaruhi. Misalnya salah satu video Rohingnya diberi uang saku sebanyak Rp. 1 juta lebih dibawakan dengan dengan narasi buruk.

Banyak influencer yang membandingkan dengan masyarkat Indonesia yang harus banting tulang agar mendapatkan uang. Sementara mereka hanya diam tapi diberi uang gratis. Tentu narasi provokatif ini sangat berpengaruh. 

Padahal video yang diambil tidak utuh. Uang yang diberikan pada Rohingya berasal dari IOP bukan dari APBN kita. Tapi, karena ulah segelintir influencer tak beretika menutup mata soal fakta ini. 

Maka tidak heran jika UNHCR menyebut jika apa yang terjadi pada insiden kemarin adalah buah dari narasi negatif tadi. 

Besarnya arus besar informasi tidak mampu diimbangi dengan filter ya g tepat. Kebanyakan masyarakat tidak bisa memilih dan memilah informasi sehingga mudah terpancing. 

Sayangnya benang merah mengenai alasan mereka mengungsi tidak tersampaikan dengan baik. Inilah yang hilang dari akun-akun serta influencer yang tidak bertanggung jawab itu. 

Akibatnya konflik horizontal terjadi. Tentu puncaknya adalah aksi pengusiran kemarin yang berhasil mengguncang dunia. 

Di sisi lain, pemerintah seakan abai. Padahal bibit-bibit kebencian dan konflik horizontal sudah terlihat sejak narasi negatif tadi bermunculan. Pemerintah kurang sigap dalam menangani kasus ini. 

Sekarang sudah kadung, Indonesia yang dikenal vokal akan kemanusiaan Palestina tercoreng akibat kejadian ini. Sekali lagi, pemerintah terkesan lamban dalam kasus ini. 

Saya kira jika pemerintah bisa bertindak cepat, kejadian yang mencoreng nama baik Indonesia tidak akan terjadi. 

Pada akhirnya, kemanusiaan kita menjadi semu karena pilih-pilih. Jangan heran jika ada label pada kita si hipokrit karena kejadian hari ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun