Film Dear David telah rilis beberapa minggu lalu. Tapi, saya telat menonton film karya Lucky Kuswandi tersebut. Jika anda googling dengan kata kunci "dear david", maka jangan heran jika rating film ini rendah, di bawah 50 persen.Â
Entah apa yang membuat film ini memiliki rating rendah. Tapi, saya berpendapat alasan di balik rating rendah tersebut karena alur cerita yang berani. Bahkan dianggap tabu di Indonesia.Â
Dear David bercerita tentang seorang siswi SMA berprestasi bernama Laras. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Laras berusaha menjaga citranya sebagai "anak baik" agar tetap mendapat beasiswa.Â
Laras juga aktif sebagai Ketua OSIS dan dekat dengan para guru. Meski begitu, Laras adalah anak remaja yang menuju fase dewasa di mana dalam fase itu ketertarikan akan lawan jenis, bahkan seks tumbuh.Â
Untuk itu, Laras menyalurkan fantasi seksualnya dalam tulisan blog pribadi. Tulisan tersebut tidak dipublish sama sekali dan hanya menjadi konsumsi pribadi.Â
Hanya saja, yang menjadi objek fantasi Laras adalah David, teman sekelasnya. Di dalam tulisannya, Laras menyalurkan fantasi seksualnyan pada David. Bahkan, dalam satu adegan ketika Laras menyiram seragam David dengan susu dan David membuka baju, itu menjadi salah satu bahan dalam ceritanya.Â
Masalah kemudian muncul ketika Laras teledor tidak log out dari akun blognya. Tulisan Laras yang tadinya hanya konsumsi pribadi, kini menjadi konsumsi publik karena ada orang lain yang menyebarkannya.
Dari sinilah masalah muncul dan menjadi perdebatan. Ada yang menyebut apa yang dilakukan Laras sebagai pelecehan seksual dan ada yang menyebut sebagai fantasi belaka.Â
Lantas, bagaimana batas antara pelecehan dan fantasi seksual?Â
Fantasi dan pelecehan seksualÂ
Menurut hemat penulis, fantasi seksual dan pelecehan seksual adalah dua hal yang berbeda. Jika kita mengacu pada UU TPKS, perbuatan seksual dibagi dua, yakni fisik dan nonfisik.Â