Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Alasan Sosiologis Mengapa RUU PPRT Perlu Disahkan

4 Februari 2023   19:26 Diperbarui: 6 Februari 2023   09:15 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belasan PRT di Semarang mendatangi anggota DPRD Jateng untuk mendesak pengesahan RUU PPRT, Rabu (21/12/2022).(Kompas.com/Titis Anis Fauziyah)

RUU PPRT pertama kali diusulkan tahun 2004. Namun, sampai saat ini RUU yang melindungi PRT itu belum juga mendapat lampu hijau dari DPR dan pemerintah. Artinya, sudah 19 tahun RUU PPRT mandeg di parlemen. 

Pekerja rumah tangga (PRT) adalah sektor pekerjaan yang belum memiliki payung hukum kuat. Hal itu karena RUU PPRT yang diajukan sejak 19 tahun silam itu tak kunjung disahkan juga. 

Tarik ulur kepentingan politik di parlemen membuat RUU PPRT kembali terhempas dalam prolegnas prioritas. Kini, RUU PPRT kembali masuk prolegnas prioritas tahun 2023.

Terkait itu, Presiden Joko Widodo setuju agar RUU PPRT disahkan. Hal itu karena selama ini PRT tidak mendapatkan payung hukum yang jelas sehingga hak-haknya sebagai pekerja tidak bisa dipenuhi. 

Selain itu, dalam regulasi yang ada seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan secara khusus belum mengakomodir kepentingan PRT. 

"Saya dan pemerintah berkomitmen dan berupaya keras untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia diperkirakan mencapai 4 juta jiwa dan rentan kehilangan hak-haknya sebagai pekerja. Namun, sudah lebih dari 19 tahun Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga belum disahkan,” ujar Jokowi

Untuk mempercepat itu, presiden memerintahkan Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjalin komunikasi dengan DPR agar undang-undang yang sudah lama mandeg ini segera disahkan. 

Di balik itu semua, sudah sejak lama RUU PPRT memang harus disahkan. Hal itu karena secara sosiologis masyarakat (PRT) membutuhkan RUU ini. Apalagi, PRT selama ini dianggap sebagai pekerjaan sebelah mata sehingga hak-haknya pun dianggap sebelah mata. 

Alasan sosiologis

Jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia cukup banyak. Sekitar 4,2 juta berprofesi sebagai PRT. Dari data itu, sebanyak 75 persen adalah perempuan dan 25 persen anak-anak. 

Jika melihat data itu, perempuan dan anak adalah kaum rentan dan perlu dilindungi undang-undang. Kita sering mendengar kasus majikan yang tega melecehkan bahkan memerkosa PRT. 

Di luar itu, para korban sulit menjangkau keadilan karena ada relasi kuasa, yakni pekerja dan majikan. Selain itu, hak-hak PRT sebagai pekerja tidak didapatkan seutuhnya.

Misalnya terkait gaji, jam kerja, hingga kebebasan membentuk serikat. Melihat kondisi itu, maka sebenarnya secara sosiologis RUU PPRT ini dibutuhkan. 

Hal itu karena dalam menentukan undang-undang mana yang akan disahkan, alasan sosiologis menjadi poin penting karena undang-undang yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat secara luas. 

Akan tetapi, jika kita memaknai hukum sebagai undang-undang, bukan sebagai sesuatu yang seharusnya ada, maka hukum adalah produk politik. Mengapa demikian? 

Hal itu karena orang-orang yang membahas undang-undang adalah kader partai. Meski kerap menjual "atas nama rakyat", kepentingan politik di balik suatu undang-undang tidak bisa dipisahkan. 

Dalam kondisi inilah alasan sosiologis berubah makna. Sosiologis bukan lagi mementingkan masyarakat, tapi segelintir kelompok atau bahkan oligarki yang diuntungkan.

Maka jangan heran jika undang-undang yang pro masyarakat sulit disahkan. Hal itu karena dalam proses pembentukannya kepentingan politik atau oligarki bermain. 

Beberapa undang-undang pro masyarakat justru molor di parlemen dan buruh proses yang lama. Misalnya UU TPKS yang baru diundangkan tahun lalu butuh waktu kurang lebih 10 tahun agar diketok. 

Tapi, undang-undang yang menguntungkan sebagian pihak justru mulus di parlemen. Contoh yang nyata adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Bahkan undang-undang setebal 1000 halaman lebih itu dibahas dalam waktu singkat. 

Mengapa demikian? Karena di balik itu ada kepentingan bisnis di dalamnya. Itu sebabnya mengapa undang-undang PPRT sulit disahkan meski sebenarnya urgensi itu sudah ada. 

Tapi, jika kepentingan politik dan oligarki tidak hilang. Maka hanya undang-undang yang menguntungkan pihak itu saja yang akan lancar. Inilah perubahan makna sosiologis yang kerap dibungkus dengan sebutan "kepentingan nasional."

Meski frasa tersebut jelas rancu, hal itu karena yang dimaksud nasional itu siapa? Tidak jelas. Beda halnya jika kita memaknai hukum itu sebagai sesuatu yang seharusnya ada. 

Maka, anasir-anasir non hukum seperti politik bisa dikesampingkan. Akan tetapi, hal itu sulit jika anggota dewan kita tidak sepenuhnya mewakili rakyat. 

Meningkatkan derajat PRT

Poin penting dalam RUU PPRT adalah meningkatkan derajat PRT. Selama ini, PRT dianggap sebagai pekerjaan rendahan, pekerjaan untuk mereka yang tidak berpendidikan. 

Padahal tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik. Untuk itu, PRT seharusnya dipandang sebagai pekerjaan profesional. 

Mereka harus dibekali keahlian khusus yang bisa mengembangkan kapasitasnya. Dengan begitu, para PRT ini akan dihormati keahliannya.

Lantas, jika begitu apakah PRT akan kehilangan pekerjaan karena majikan yang tidak mampu bayar? Tentu konteksnya tidak demikian. 

Kita harus merinci lagi tugas PRT meliputi apa saja. Toh tidak semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan sendirian. Artinya ada bidangnya masing-masing dan di sinilah mereka sebenarnya menjual jasa. 

Jika PRT masih dianggap pekerjaan rendah, maka jangan heran mereka akan tetap dibayar murah. Bahkan mereka yang di luar negeri sekalipun. Tapi, jika PRT adalah profesional, maka hak-hak mereka akan lebih dihormati. 

Perlu diingat, RUU PPRT tidak hanya bagi mereka di Indonesia. Tapi, bagi PRT di luar negeri. Kemampuan mereka akan dibayar selayaknya pekerja profesional karena stigma pekerja rendagan hilang. 

Lebih dari itu, RUU PPRT bertujuan memberi perlindungan hukum. Selama ini para PRT tidak bisa menuntut jika ada majikan yang membayar di bawah standar. 

Berbeda jika ada aturan khusus yang mengatur soal itu. Ketika menuntut, mereka memiliki landasan yang kuat karena ada aturan yang melindunginya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun