Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Fenomena Ngemis Online di TikTok Berkedok Konten Kreator

12 Januari 2023   09:36 Diperbarui: 13 Januari 2023   04:20 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial saat ini kian beragam. Jika ditelisik, perkembangan media sosial begitu cepat. Mulai dari yang hanya mengirim pesan hingga video siaran langsung. 

TikTok saat ini menjadi media sosial yang tengah naik daun. Pengguna TikTok di Indonesia sendiri mencapai 99,1 juta per April 2022.

Meski pernah diblokir pemerintah, tapi TikTok kembali dibuka. Bahkan TikTok sudah mulai menyaingi media sosial lain seperti instagram karena fitur video pendek yang rupanya digemari. 

Selain itu, fitur TikTok lain adalah TikTokshop yang mungkin saja bisa menjelma menjadi e-commerce. Tapi, fitur yang bisa berinteraksi langsung dengan followers adalah fitur siaran langsung. 

Banyak konten kreator yang memanfaatkan fitur ini untuk berinteraksi dengan fans. Bahkan melalui fitur ini para konten kreator bisa meraup cuan dengan mendapatkan gift. 

Nantinya gift tersebut bisa dikonversi menjadi uang. Sayangnya fitur siaran langsung mulai meresahkan publik. Pasalnya konten yang disajikan dalam video tersebut bukan hasil karya intelektual atau streaming games, tapi mengemis.

Cobalah Anda buka aplikasi TikTok tengah malam maka ada beberapa konten siaran langsung  yang membuat geleng-geleng kepala. Bayangkan saja jam 1 dini hari ada ibu-ibu yang sudah tua rela mandi di luar ruangan demi mendapatkan gift. 

Tak hanya itu, ada juga yang melakukan mandi lumpur. Para "kreator" ini nantinya akan memenuhi seluruh permintaan penonton seperti berendam di lumpur dengan waktu yang lama demi mendapatkan gift. 

Parahnya lagi, dalam video justru si kreator memberi pilihan pada penonton. Misalnya 1 gift untuk satu gayung air dan 100 gift untuk satu ember. Jika ada yang memberi satu gift, maka si kreator akan mandi satu gayung, jika 100 gift maka akan mandi satu ember dan seterusnya. 

Perbuatan di atas jauh dari kata elok, melakukan perbuatan di atas tak ubahnya merendahkan diri sendiri demi mendapatkan simpati orang lain. Kata konten kreator hanyalah bungkus, apa yang ditampilkan tak ubahnya cara yang lazim dipakai pengemis untuk mencari simpati. 

Jika di dunia nyata ada yang pura-pura sakit untuk mendapatkan simpati, para kreator ini jauh lebih rendah lagi dengan menyakiti diri sendiri dan merendahkan harga diri demi sebuah gift. Pantaskah mereka disebut konten kreator? 

Eksploitasi Kemiskinan

Sudah sejak lama eksploitasi kemiskinan untuk mendapat simpati orang lain terjadi. Istilah ini dikenal dengan sebutan property porn. 

Tujuan property porn adalah menarik simpati orang lain, caranya yakni menjual kemiskinan atau kesedihan. Pada tahun 1980-an ketika lembaga amal tengah berjaya, strategi ini dipakai. 

Bahkan strategi ini cukup sukses menggalang dana besar. UNICEF bahkan pernah melakukan ini. Misalnya dengan menempelkan gambar orang-orang yang kekurangan gizi. 

Kondisi mereka begitu memprihatinkan, hal itulah yang dijual pada masyarakat yakni kesedihan untuk mendapatkan simpati orang lain. 

Meski begitu, apa yang dilakukan UNICEF menuai pro dan kontra. Pihak yang kontra tidak setuju dengan cara itu yang mengeksploitasi kemisikinan orang lain. 

Kondisi tersebut tidak layak menjadi senjata untuk mencari simpati orang lain. Sementara pihak yang pro menyatakan jika cara tersebut begitu efektif untuk menarik simpati orang lain. 

Konten menjual kesedihan seperti itu kerap kita temui tergantung medianya. Pada akun-akun media sosial yang bergerak di bidang penggalangan dana, lazim kita lihat video-video yang menampilkan kesulitan orang lain. 

Bahkan untuk mendramatisir, ditambah musik yang menyedihkan atau kata-kata manis agar orang lain membantu. Tapi, memang seperti itulah cara kerja property porn. 

Dalam media tv, cara kerja yang sama juga pernah dilakukan. Beberapa acara tv justru menyiapkan acara khusus yang mengeksploitasi kemiskinan. 

Tak hanya itu, konten kreator seperti Baim Wong beberapa tahun ke belakang juga memakai cara yang sama. Pada masa kini di era mengemis online, eksploitasi kemiskinan juga tetap dilakukan meski dengan kemasan "konten kreator."

Dalam property porn, setidaknya yang dieksploitasi ada dua hal. Pertama kondisi kemiskinan orang lain dan kedua kondisi empati calon penderma. 

Semakin kemiskinan itu dieskploitasi, maka semakin tinggi juga empati orang lain untuk berderma. Dalam konteks ini, meski dibalut dengan kemasan konten kreator, tapi pada prinsipnya mereka tetap mengemis. 

Jika kita telisik lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin mereka yang melakukan itu terikat satu agensi yang memang sengaja melakukan itu untuk mengeksploitasi rasa simpati orang lain. 

Untuk itu, model yang dipakai adalah ibu-ibu yang renta. Hal itu seolah memberi tahu bahwa "model" itu memang benar-benar butuh uang sehingga mereka mau melakukan apa pun demi mendapatkan gift. 

Padahal, bukan tidak mungkin di balik itu ada sebuah agensi khusus yang mana para model itu hanya dijadikan alat untuk mencari cuan dengan menjual kesedihan. 

Sementara keuntungan gift itu sendiri tidak semuanya milik si model. Tapi, para model itu tak ubahnya pekerja yang bernaung di bawah satu agensi khusus. 

Artinya jika memang demikian, para model itu memang terdesak kebutuhan ekonomi tapi mereka sebenarnya bukan konten kreator sesungguhnya.

Konten kreator yang sebenarnya adalah para agensi yang menaunginya. Mungkin saja ketika direkrut, agensi menawarkan satu pekerjaan menjadi konten kreator. 

Padahal sejatinya kata tersebut hanya pembungkus manis. Pekerjaan sebenarnya adalah mengemis. Lalu apa kontennya? Jelas konten kemiskinan. 

Konten kreator tersebut tahu jika orang Indonesia paling mudah dibodohi dengan konten kemiskinan. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia. 

Dengan demikian, fenomena di atas tak ubahnya seperti pengemis di dunia nyata yang bekerja pada satu agensi. Tapi, yang membedakannya adalah media dan usaha mereka diperhalus dengan sebutan konten kreator. 

Apa yang Harus Dilakukan? 

Saya pribadi pernah ditipu oleh pengemis tua di depan Gramedia Bandung. Ketika tengah menunggu angkutan umum, seorang bapak tua datang pada saya. 

Ia berujar jika tidak punya ongkos untuk pulang ke Ciparay. Jarak dari Bandung ke Ciparay kurang lebih 20 km. Saat itu hari sudah sore dan saya iba kepada bapak tersebut. Lalu saya memberikan dia uang. 

Bapak tersebut lantas pergi seolah-olah akan naik angkot. Ketika saya naik angkot untuk pulang, si bapak tadi kembali ke posisi awal di depan gerbang Gramedia untuk mencari mangsa baru. 

Dari kejadian itulah, saya sampai saat ini tidak pernah berderma lagi pada pengemis. Begitu juga dengan fenomena ngemis online, saya yakin sejatinya mereka tengah mempermainkan simpati orang dengan cara menjual kesedihan. 

Untuk itu, yang harus kita lakukan adalah tidak menonton mereka saat live. Atau melaporkan konten live tersebut. Pihak aplikasi juga harus menindak jika ada laporan karena konten tersebut meresahkan. 

Jadi, untuk mencegah fenomena itu merebak langkah pertama ada di jempol kita. Jempol kita seharusnya menekan tombol laporkan bukan gift. Bukan berarti saya mengajak agar tidak berderma. 

Tapi, berderma harus pada orang yang benar-benar membutuhkan. Bukan pada mereka yang hanya sekadar memanfaatkan rasa simpati orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun