Kegagalan ini tentu akan melahirkan siklus yang terus berulang sampai-sampai pola ini akan terus terjadi jika tidak ada perbaikan.Â
Siklus pertama tentu pelatih menjadi korban pertama. Pertama, pelatih paling mudah dikambing hitamkan atas kegagalan sebuah tim.Â
Hal itu bisa dibuktikan dengan suara-suara agar STY untuk mentok. Padahal kita tahu jika STY adalah pelatih kelas dunia. Pelatih kelas dunia sekalipun gagal membawa juara hanya untuk turnamen regional Piala AFF.Â
Artinya pelatih bukan menjadi faktor paling berpengaruh. Pelatih hanya salah satu faktor saja. Maka setelah siklus ini akan berpindah pada siklus kedua yakni federasi.
Berbicara PSSI, tentu tak ada matinya. Tapi yang dibicarakan adalah hal-hal buruk. Tentu kita tahu orang-orang di balik PSSI itu seperti apa.Â
Pengurus PSSI seakan tidak peduli dengan prestasi Timnas. Di sisi lain federasi juga ikut serta terutama dalam menciptakan sarana dan prasarana penunjang.Â
Maka siklus ketiga adalah kualitas kompetisi dan fasilitas. Kualitas kompetisi masih jauh dibanding negara tetangga Malaysia. Harus diakui, liga Malaysia jauh lebih baik daripada Liga 1.
Banyak yang berkata jika kualitas liga akan menentukan kualitas timnas. Meski kita tahu hal ini tidak sepenuhnya tepat. Inggris memiliki kualitas liga terbaik tapi prestasi timnas jalan di tempat.Â
Tentu yang harus kita benahi adalah kualitas pembinaan usia muda yang muaraya jelas ke kompetisi yang efektif. Bisa kita saksikan sendiri hal-hal mendasar seperti passing saja tidak jelas.Â
Tentu hal-hal mendasar itu harus dibenahi sejak anak-anak masuk akademi. Menggocek adalah skill, tapi passing adalah kunci.Â
Maka jalan paling radikal untuk mendongkrak kualitas timnas tak lain dengan jalan instan yakni naturalisasi. Bukan berarti tidak percaya pemain lokal, tapi coba lihat ketika Jordi Amat main atau Marc Klok, keduanya stabil dibanding pemain lain.Â