Suara-suara minoritas otomatis hilang. Jadi, suara yang ada di parlemen hanya suara mayoritas saja. Inilah sebabnya mengapa sistem distrik tidak cocok di Indonesia.Â
Berbeda dengan sistem proporsional yang mana wakil rakyat beragam dan tentu memiliki latar belakang berbeda, jadi suara-suara minoritas masih bisa masuk.Â
Tapi, jika hanya suara mayoritas yang diperhitungkan, maka suara minoritas tidak akan diakomodasi dengan baik. Jadi, sistem distrik pada hakikatnya adalah minoritas di dalam mayoritas dalam artian "mayoritas pemilih tidak menginginkan si A sebagai anggota dewan."
Lebih jelasnya, A mendapat suara 10.000, B mendapat suara 8.000 dan C mendapat suara 7.000. Maka sebenarnya A hanya mewakili 10.000 sedangkan suara yang tidak terwakili adalah 15.000. Dengan demikian, A sebenarnya adalah minoritas dibandingkan suara yang masuk.Â
Selain itu, sistem distrik jelas kurang demokratis. Hal ini karena suara-suara minoritas hilang. Begitu juga dengan aspirasinya. Begitu juga dengan partai minoritas tidak akan terikutsertakan secara adil.Â
Kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen tentu harus memberikan pilihan yang beragam bagi pemilih begitu juga dengan ideologi partai. Jika hanya memakai suara terbanyak, maka demokrasi perwakilan itu tidak berjalan sempurna.Â
Hal itu karena suara minoritas menjadi hangus dan hilang begitu saja. Berbeda dengan sistem proporsional yang mana satu suara saja sangat berarti.Â
Dengan kondisi masyarakat yang beragam, maka sistem distrik jelas tidak akan bisa diterapkan di Indonesia. Maka pilihan terbaik tetaplah sistem proporsional dengan beberapa penyesuaian agar tercipta pemilu yang adil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H