Menurut Airlangga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-VIII/2020 yang menyatakan cacat formil sangat berpengaruh pada dunia usaha baik di dalam mau pun luar negeri. Sementara itu, pemerintah berupaya mejaring investasi untuk pertumbuhan ekonomi.Â
Sementara itu, Mahfud MD dalam instagram pribadinya menyebut Putusan MK Nomor 91/PUU-VIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK lantas memberi waktu 2 tahun untuk memperbaiki.Â
Mahfud memyebut perbaikan itu bisa dilakukan dengan membuat undang-undang baru atau membuat aturan setingkat undang-undang. Maka Perppu adalah pilihan yang tepat.Â
Lebih jauh Mahfud juga menjelaskan perihal kegentingan memaksa yang mencakup kondisi dalam negeri dan luar nengeri termasuk perang Rusia- Ukraina.Â
Di sisi lain, pemerintah seolah mengambil jalan pintas dan jelas tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, kiranya Perppu di atas tidak sejalan dengan titah MK.Â
"Akal bulus"
Pada November 2021 lalu, Â Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-ViII/2020 menyebut UU Cipta Kerja cacat formil. Di dalam amar putusannya, MK jelas memerintahkan untuk memperbaiki dalam waktu 2 tahun.Â
Lantas bagaimana dengan Perppu itu sendiri? Jelas yang menjadi perdebatan adalah perihal kegentingan memaksa. Dalam teori, frasa kegentingan memaksa memang subjektif presiden.Â
Untuk itu, MK memberikan tafsir kegentingan memaksa melalui putusan Nomor 138/PUU-XVII /2009. Tafsir tersebut tak lain guna membatasi agar presiden tidak mengeluarkan Perppu dengan harga murah.Â
Meskipun Perppu menjadi subjektif presiden, akan tetapi hal itu tidak absolut. Penilaian terhadap "kegentingan mamaska" harus tetap obejektif.Â
Oleh sebab itu, frasa kegentingan memaksa harus benar-benar terpenuhi. Di dalam Putusan Nomor 138/PUU-XVII/2009 dijelaskan yang dimaksud dengan kegentingan memaksa mencakup tiga hal.Â
Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.