Sepak bola adalah olahraga populer saat ini. Kepopuleran sepak bola membuat olahraga ini sering dijadikan alat untuk kepentingan beberapa pihak.Â
Misalnya di dalam negeri, banyak yang menyebut jika sepak bola adalah sarana untuk menaikkan kepopuleran bagi mereka yang ingin maju ke ranah politik.
Apalagi di tingkat Piala Dunia yang jadi kompetisi tertinggi sepak bola. Piala Dunia adalah panggung yang tepat untuk menyampaikan pesan tersendiri. Entah itu politik, penyuaraan hak minoritas dan lain sebagainya.
Meski sepak bola adalah olahraga, tapi saat ini sulit untuk menjaga kemurnian olahraga itu tanpa ada anasir dari luar. Misalnya di Piala Dunia 2022 kali ini, ada 7 tim yang kompak mengampanyekan LGBTQ dengan ciri khas ban kapten pelangi atau gerakan "one love."
Namun Qatar bersitegas jika gerakan itu dilarang. Jika mengacu pada teori kedaulatan hukum, maka alasan Qatar itu tepat karena mereka memilik aturan untuk itu.Â
Di sisi lain, FIFA selaku induk sepak bola dunia kemudian melarang ban kapten pelangi itu. Meski begitu, masih ada cara lain untuk menyampaikan pesan tersebut.Â
Misalnya Timnas Jerman yang melakukan gerakan tutup mulut sebagai protes atas kebijakan tadi. Tak mau kalah, Maroko selalu membawa bendera Palestina sebagai pesan kemerdekaan pada negara tersebut.
Meski ada larangan tegas dari FIFA agar sepak bola dijauhkan dari hal semacam itu, tapi FIFA seolah melanggar aturannya sendiri setelah melarang Russia tampil di kualifikasi imbas konflik Russia-Ukraina.
Di sisi lain, ada satu konfederasi independen yang bisa disebut antitesis FIFA. Jika FIFA melarang segala gerakan yang berbau politis dan sebagainya, CONIFA justru sebaliknya.Â
CONIFA adalah wadah bagi mereka yang terpinggirkan. Kampanye CONIFA jauh lebih ekstrim lagi. Misalnya mengakui kelompok minoritas yang tidak diakui oleh suatu negara. Inilah sepak bola yang disebut dibawa pada kaum akar rumput.Â