Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala Dunia CONIFA, Antitesis Piala Dunia FIFA untuk Mereka yang Terpinggirkan

13 Desember 2022   16:11 Diperbarui: 13 Desember 2022   17:30 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepak bola adalah olahraga populer saat ini. Kepopuleran sepak bola membuat olahraga ini sering dijadikan alat untuk kepentingan beberapa pihak. 

Misalnya di dalam negeri, banyak yang menyebut jika sepak bola adalah sarana untuk menaikkan kepopuleran bagi mereka yang ingin maju ke ranah politik.

Apalagi di tingkat Piala Dunia yang jadi kompetisi tertinggi sepak bola. Piala Dunia adalah panggung yang tepat untuk menyampaikan pesan tersendiri. Entah itu politik, penyuaraan hak minoritas dan lain sebagainya.

Meski sepak bola adalah olahraga, tapi saat ini sulit untuk menjaga kemurnian olahraga itu tanpa ada anasir dari luar. Misalnya di Piala Dunia 2022 kali ini, ada 7 tim yang kompak mengampanyekan LGBTQ dengan ciri khas ban kapten pelangi atau gerakan "one love."

Namun Qatar bersitegas jika gerakan itu dilarang. Jika mengacu pada teori kedaulatan hukum, maka alasan Qatar itu tepat karena mereka memilik aturan untuk itu. 

Di sisi lain, FIFA selaku induk sepak bola dunia kemudian melarang ban kapten pelangi itu. Meski begitu, masih ada cara lain untuk menyampaikan pesan tersebut. 

Misalnya Timnas Jerman yang melakukan gerakan tutup mulut sebagai protes atas kebijakan tadi. Tak mau kalah, Maroko selalu membawa bendera Palestina sebagai pesan kemerdekaan pada negara tersebut.

Meski ada larangan tegas dari FIFA agar sepak bola dijauhkan dari hal semacam itu, tapi FIFA seolah melanggar aturannya sendiri setelah melarang Russia tampil di kualifikasi imbas konflik Russia-Ukraina.

Di sisi lain, ada satu konfederasi independen yang bisa disebut antitesis FIFA. Jika FIFA melarang segala gerakan yang berbau politis dan sebagainya, CONIFA justru sebaliknya. 

CONIFA adalah wadah bagi mereka yang terpinggirkan. Kampanye CONIFA jauh lebih ekstrim lagi. Misalnya mengakui kelompok minoritas yang tidak diakui oleh suatu negara. Inilah sepak bola yang disebut dibawa pada kaum akar rumput. 

Sekilas tentang CONIFA

Confederation of Independent Football Associations (CONIFA) adalah asosiasi sepak bola independen yang berdiri sejak 15 Agustus 2015. CONIFA menjadi asosiasi alternatif bagi negara yang terpinggirkan di luar keanggotaan FIFA.

Dalam situs resminya, CONIFA adalah organisasi nirlaba global yang mendukung perwakilan tim sepak bola internasional dari negara, negara de-facto, masyarakat minoritas, dan wilayah lain yang terisolasi.

Dengan tujuan seperti itu, CONIFA memiliki anggota yang beragam, mulai dari timnas Rohingya (pelarian etnis muslim Myanmar), Abkhazia, dan Artsakh, dan negara-negara lain yang kurang populer di telinga banyak orang.

Dalam situs resminya tercatat CONIFA memilki 56 anggota dengan rincian 21 negara dari ERopa, 11 negara Asia, 12 negara Afrika, 3 negara Amerika Utara, 6 negara Amerika Selatan, dan 3 negara Oceania.

Visi CONIFA adalah menampung seluruh entitas terlepas apa latar belakangnya, entah itu politis atau murni olahraga. Namun mereka memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama terpinggirkan.

Entah itu terpinggirkan karena tidak diakui sebagai warga negara oleh negera tertentu, negara dengan pengakuan terbatas, atau terpinggirkan dari sisi sepak bola itu sendiri.

Akan tetapi, apa pun latar belakangnya mereka semua miliki hak yang sama untuk menunjukkan eksistensinya dalam sepak bola di kancah internasional. 

Meski begitu, CONIFA juga tidak melarang para anggotanya jika ingin bergabung dengan FIFA. Justru CONIFA akan membantunya. Hal itu karena CONIFA menjadi jembatan bagi mereka yang ingin diakui eksistensinya dalam sepak bola.

Seperti yang sudah diulas di awal artikel ini, saat ini sepak bola tidak bisa lepas dari anasir lain seperti politik, penyuaraan hak kaum minoritas, bahkan menjadi tempat untuk memberikan dukungan moral untuk tragedi kemanusiaan.

Jika FIFA mengampanyekan kemanuisaan dianggap terlalu performatif, maka CONIFA mengampanyekan hal yang mendasar, yaitu hak hidup dan diakui, lebih jauh dari itu hak untuk bermain sepak bola apa pun latar belakangnya.

Berkaca pada kondisi tersebut, maka terselip misi kemerdekaan di dalamnya dari mereka yang kenyang akan persekusi dan mendapatkan diskriminasi. 

Misalnya dengan kehadiran Timnas Rohingya yang kerap mendapat persekusi dari Myanmar. Tidak sedikit para etnis minoritas ini mencari suaka pada negara lain hanya untuk sekedar hidup.

Piala Dunia CONIFA

Piala Dunia FIFA adalah ajang turnamen terakbar di jagat dunia. Perhatian seluruh dunia tentu akan tertuju pada turnamen bentukan FIFA. Kemegahan Piala Dunia Qatar dan bejibunnya sponsor membuat turnamen ini begitu prestisius.

Sama seperti FIFA, CONIFA juga memiliki agendanya tersendiri. Salah satunya Piala Dunia CONIFA. Bedanya dengan di atas, Piala Dunia ini tidak populer atau asing di telinga banyak orang. Kata megah dan mewah pun jauh dari Piala Dunia CONIFA.

Piala Dunia CINIFA pertama kali digelar pada tahun 2014 di Sapmi. Edisi kedua digelar pada tahun 2016 di Abkhazia, dan edisi ketiga digelar pada tahun 2018 di London. Edisi keempat yang sejatinya digelar tahun 2020 dibatalkan karena Covid-19.

Pada tahun 2108, Piala Dunia CONIFA digelar bersamaan dengan Piala Dunia Russia. Tentu semua media fokus pada Piala Dunia FIFA. Pada tahun 2018 itu, Karpatalya itu keluar sebagai juara.

Akan tetapi, torehan juara itu tidak memiliki atensi yang besar dari media mana pun. Begitu juga dengan infrastruktur yang biasa saja. Piala Dunia CONIFA memang biasa saja.

Tidak ada strategi khusus seperti pertahanan tinggi yang dipertontonkan Arab Saudi saat mengalahkan Argentina.
Tidak ada kejadian heboh yang dilakukan Paredes saat menendang bola ke arah bench Argentina. Sesekali gol indah tercipta dan skor telak pun tercipta.

Jelas saja beberapa tim diperkuat oleh pemain amatir dan bukan pemain professional. Meski terlihat tidak penting bagi sebagian orang, akan tetapi Piala Dunia CONIFA memiliki arti penting bagi pemainnya.

Hal penting itu tak lain hak untuk bermain sepak bola di kancah internasional tidak peduli latar belakangnya apa. Inilah alternatif bagi bangsa-bangsa yang terpinggirkan untuk menunjukkan eksistensinya dalam dunia olahraga.

Berlawanan dengan FIFA, Piala Dunia FIFA dijalankan dengan asas fan to fan. 

Sepak bola benar-benar pulang ke rumahnya. Sepak bola kembali ke akar tumput, kepada mereka yang suku, bangsa, atau negara yang tidak diakui atau dikucilkan oleh komunitas internasional.

Meski telah melaksanakan beberapa edisi Piala Dunia, dalam perkembangannya bukan tidak mungkin CONIFA juga akan menghelat Piala Dunia Wanita.

Kehadiran CONIFA jelas mulia, ia adalah harapan bagi suku, bangsa, atau negara yang tidak diakui dalam pergaulan internasional khususnya sepak bola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun