Pada Senin 21 November 2022 lalu, Cianjur dilanda gempa dengan kekuatan 5.6 magnitudo yang diduga terjadi dari episentrum sesar Cimandiri.Â
Akibat dari guncangan gempa tersebut, banyak rumah warga yang mengalami kerusakan parah. Bahkan tak sedikit jalan penghubung juga rusak berat.Â
Di samping kerusakan parah tersebut, jumlah korban meninggal juga tidak sedikit. Hingga saat ini jumlah korban meninggal mencapai 321 orang.Â
Kepala BNPB Suharyanto menyebut masih ada sekitar 11 orang lain yang hilang. Ia menyebut jumlah pengungsi sampai hari ini mencapai 73.874 orang.
Rinciannya, pengungsi laki-laki 33.713 orang, perempuan 40.161 orang, penyandang disabilitas 92 orang, ibu hamil 1.207 orang, dan lansia 4.240 orang.
Selain itu, gempa Cianjur juga telah merusak sejumlah fasilitas seperti sekolah, tempat ibadah, hingga gedung perkantoran. Hingga saat ini, sudara kita di sana masih memerlukan bantuan berupa pakaian hingga makanan.Â
Di luar itu, masih terdapat gempa susulan hingga 296 kali hingga Senin (28/11/2022). Hal itu menjadi bukti bahwa kita harus tetap waspada akan bahaya lain yang mengintai.Â
Ring of fire
Sejak sekolah dulu, kawasan Indonesia berada di ring of fire atau cincin api. Hal itu menyusul banyaknya gunung berapi aktif yang ada di Indonesia. Tentu itu menjadi ancaman bagi kita yang tak bisa dihindari.Â
Memang sisi lain dari keberadaan gunung api tersebut bisa membuat tanah subur. Tapi mitigasi bencana diperlukan karena kita tidak bisa melawan alam.Â
Ancaman lain yang nyata adalah gempa bumi. Hal itu karena sebagian kawasan Indonesia dilalui oleh patahan-patahan aktif yang bisa saja mengancam.Â
Di bawah kaki yang kita injak terdapat sesar aktif yang terus bergerak. Salah satu contoh yang bisa pelajari adalah gempa Cianjur di atas yang disebut sebagai efek dari sesar Cimandiri.Â
Meski dugaan awal gempa Cianjur karena sesar Cimandiri, belakangan diketahui bahwa penyebab gempa Cianjur bukanlah sesar Cimandiri. Melainkan sesar yang belum terdeteksi sebelumnya.Â
Para ahli menyebut titik pusat gempa Cianjur berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah utara jalur patahan Cimandiri. Sementara, jalur sesar Cimandiri bermula dari Pelabuhan ratu lalu membentang ke arah timur dan berbelok ke utara di sekitar kawasan episentrum gempa.
Dengan demikian gempa Cianjur disebabkan oleh sesar yang belum diketahui. Hal itu semakin menegaskan jika Indonesia begitu dekat dengan gempa bumi. Dan tentu ancaman itu sangat nyata.Â
Selain sesar Cimandiri, salah satu sesar yang sedang tidur lainnya adalah sesar Lembang. Sesar Lembang membentang sepanjang 29 kilometer dari Kecamatan Padalarang (Kabupaten Bandung Barat) Â hingga Kecamatan Cilengkrang (Kabupaten Bandung).
Sampai saat ini sesar Lembang masih aktif bergerak dengan pergerakan 6 mm pertahun. Tentu saja sewaktu-waktu sesar ini bisa aktif apalagi dalam sejarahnya pernah terjadi.Â
Jika demikian, maka sudah dipastikan dampak dari gempa bumi yang akan terjadi begitu dahsyat. Terutama bangunan dan infrastruktur yang ada di atas patahan sesar Lembang.Â
Pun begitu dengan daerah Jakarta, Jakarta pun tak selamanya aman dari gempa. Hal itu karena di bawah Jakarta membentang sesar Baribis yang membentang dari Purwakarta, Cibatu-Bekasi, Tangerang, dan Rangkasbitung.
Dalam sejarahnya, sesar ini pernah mengakibatkan guncangan hebat pada tahun 1780 dan 1834 di Jakarta dan sekitarnya. Bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi di masa depan. Hal itu karena sesar ini aktif bergerak 5 mm pertahun.Â
Dengan kondisi di atas, kita tentu tidak bisa mengubah takdir alam. Kita juga tak bisa mencegah gempa terjadi. Hal yang harus kita lalukan adalah meminimalisir dampak yang diakibatkan gempa dan memitigasinya dengan baik.Â
Mitigasi yang buruk
Ada aktivitas menarik yang mencerminkan bahwa pemahaman gempa di Indonesia buruk. Bahkan hal itu dipertontonkan oleh anggota DPR RI saat rapat bersama BMKG.
Ketika terjadi gempa bumi, ketua sidang yakni Roberth Rouw malah ketawa-ketiwi dan guyon jika gempa terjadi karena ada BMKG. Di sisi lain, anggota BMKG meminta para legislator itu untuk sembunyi di bawah meja.Â
Meski begitu, pimpinan sidang justru tak mengindahkan himbauan tersebut dan terus tertawa seakan kejadian tersebut lucu. Ketua BMKG lantas meminta untuk setiap anggota DPR agar keluar melalui pintu khusus.Â
Sang pimpinan sidang masih cengegesan dan menyebut jika pintu keluar di ruang sidang hanya ada satu. Beruntung efek gempa tersebut tidak langsung meratakan bangunan seperti di Cianjur.Â
Namun dari kejadian itu ada dua hal yang perlu disoroti. Pertama terkait pemahaman gempa di tingkat elit yang amburadul dan kedua adalah terkait desain bangunan itu sendiri yang tak memerhatikan aspek kejadian berbahaya.Â
Tingkah tengil anggota DPR yang malah cengar-cengir cukup untuk memberi gambaran jika edukasi gempa kita buruk. Bahkan anggota DPR yang katanya terdidik itu tak memiliki pemahaman tersebut.Â
Tentu kita juga bertanya dengan kejadian di Cianjur sana. Dari segi kekuatan gempa sebenarnya tidak terlalu besar. Tapi kerusakan dan jatuhnya korban jiwa amat besar.Â
Hal itu terjadi karena minimnya edukasi pada masyarakat serta bangunan yang ada di atasnya tidak sesuai dengan standar. Kita seharusnya belajar dari Jepang yang sama-sama hidup dengan ancaman gempa.Â
Jepang menjadi salah satu contoh negara yang bisa berdamai dengan gempa. Hal itu tak terlepas dari bagaimana Jepang memitigasi bencana alam tersebut.Â
Siswa SD di sana sudah diajarkan simulasi gempa. Anak-anak di sana diajarkan untuk berlindung di bawah meja ketika gempa terjadi dan memegang kaki meja hingga gempa selesai.Â
Selain simulasi di dalam ruangan, simulasi juga dilakukan di luar lapangan. Caranya adalah anak-anak di sana dikumpulkan dalam lapangan luas dan menjauh dari gedung-gedung.Â
Simulasi sederhana yang ditanamkan sejak dini itu tentu akan membekas. Sehingga ketika gempa terjadi orang-orang Jepang sudah tidak panik karena edukasi terkait gempa sudah tertanam dengan baik.Â
Di Indonesia hal itu justru menjadi lelucon seperti yang dilontarkan oleh anggota DPR sana. Hal itu menunjukkan jika edukasi mendasar seperti itu pun tidak berjalan denhan baik.Â
Mitigasi lainnya adalah bangunan tahan gempa. Sejatinya gempa tidaklah membunuh. Yang membunuh adalah bangunan yang ada di sekitarnya. Itulah yang terjadi di Cianjur sana.Â
Jepang mengevaluasi Undang-Undang (UU) Standar Bangunan sebagai pelajaran dari gempa bumi besar Hanshin (1995). UU sekarang memberi penjelasan jauh lebih rinci terkait tingkat kinerja bangunan anti gempa, spesifikasi, dan bentuk pondasi.
Jika pengambang tidak memiliki standar dan spesifikasi bangunan tahan gempa, maka izin bangunan pun tidak akan keluar. Para insinyur di sana merancang bangunan dengan beberapa cara.Â
Pertama bangunan tersebut harus tahan gempa dengan kekuatan kecil. Kerusakan yang terjadi pun masih bisa diminimalisir. Cara kedua adalah dengan membuat bangunan tahan gempat dengan kekuatan besar.Â
Guna menahan kekuatan gempa yang luar biasa, bangunan harus menyerap energi seismik sebanyak mungkin. Hal itulah yang akan memungkinkan bangunan tidak mudah runtuh.
Di Indonesia regulasi itu sudah ada yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2005. Meski begitu, dalam praktiknya penerapan itu dikembalikan pada pemda.Â
Itu artinya, pemda harus memiliki standar tinggi untuk bangunan-bangunan yang ada di atas sesar aktif. Jika ada bangunan yang dirancang tidak sesuai standar gempa, maka seharusnya IMB tidak terbit.Â
Hal-hal seperti itulah yang harus kita lakukan saat ini. Selain itu, bangunan yang ada di patahan gempa juga harus memilili jalur evakuasi apabila keadaan darurat terjadi.Â
Mitigasi bencana seperti itulah yang harus kita lakukan untuk berdamai dengan alam. Karena sekali lagi kita tidak bisa mengubah alam. Melainkan kita harus berdamai dengan kondisi alam sekitar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H