Beberapa hari lalu saya bertandang ke salah satu tokoh Serikat Petani Pasundan di Garut. Ketika mengobrol soal reforma agraria, pembicaraan dibuka dengan menawarkan rokok.
Saat ini rokok mau pun korek menjadi medium yang tepat untuk membuka obrolan. Akan tetapi, saya sendiri bukan perokok dan tokoh tersebut mengatakan sebaiknya saya disuguhi lipstik atau daster.Â
Saya tidak ambil pusing dengan hal itu karena orang Sunda memang suka dengan banyolan (bercanda). Si bapak menyebut jika saya kalah dengan istrinya yang merokok, bahkan anak perempuannya yang baru berusia 17 tahun juga merokok.Â
Si bapak menjelaskan jika keluarganya memang perokok semuanya. Bahkan anak gadis si bapak yang berusia 17 tahun itu sudah merokok sejak SMP hingga saat ini.Â
Di sekitar rumah saya, anak SMP sering kedapatan merokok bahkan ketika hendak pergi ke sekolah. Itu artinya kebanyakan perokok dimulai ketika usia-usia sekolah.Â
Tentu jika mengacu pada beberapa aturan di Indonesia baik itu UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, selama berusia di bawah 18 tahun maka ia disebut sebagai anak.Â
Itu artinya anak-anak di Indonesia sudah terkontaminasi asap rokok sejak usia sekolah. Pada usia itu, anak-anak tengah mencari jati diri dan hasrat ingin tahu akan hal baru tak bisa dibendung termasuk asap rokok.Â
Perokok di Indonesia
Sampai saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Hal itu masuk akal karena jumlah penduduk Indonesia juga banyak.Â
Selain itu, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan perokok dewasa dengan penambahan jumlah perokok sebanyak 8,8 juta jiwa, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.