Mata pecinta sepak bola di penjuru dunia tertuju pada Indonesia saat ini. Hal itu tidak lepas dari tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan nyawa.Â
Sepak bola yang sejatinya hiburan justru berakhir menjadi bencana kemanusiaan. Korban meliputi berbagai kalangan mulai dari aparat hingga balita tak berdosa.
Kejadian itu memantik banyak simpati dari seluruh klub di dunia. Klub-klub raksasa Eropa seperti Bayern Munchen, FC Barcelona, Arsenal, Machester City, dan lain-lain turut menyampaikan simpati.
Liga Spanyol bahkan melakukan mengheningkan cipta selama satu menit sebagai bentuk dukungan moral. Di luar itu, PSSI selaku federasi sepak bola tanah air memutuskan untuk menanguhkan Liga 1 hingga waktu yang belum ditentukan.
Tragedi Kanjuruhan juga memantik perhatian Presiden Joko Widodo. Jokowi memerintahkan agar Liga 1 diberhentikan sementara sampai evaluasi kasus ini dilakukan secara menyeluruh.
Jika apa yang diperintahkan Jokowi di atas dibaca sebagai bentuk intervensi oleh FIFA, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali mendapat sanksi dari FIFA.
Akan tetapi berhenti sejenak dan berbenah diri adalah jalan terbaik untuk saat ini. Kemanusiaan di atas segalanya. Tidak ada yang lebih mahal daripada kehidupan orang lain.
Respon FIFA
FIFA selaku federasi sepak bola dunia tentu tidak tinggal diam. Dalam rilis resminya, FIFA menyebut tragedi di Kanjuruhan adalah hari yang gelap bagi sepak bola dunia.
"Tragedi menyedihkan ini menjadi hari-hari yang gelap bagi semua yang terlibat dalam sepakbola. Saya menyampaikan belasungkawa terdalam untuk keluarga serta teman-teman para korban yang meninggal dunia," ujar Infantino (CNN Indonesia)
FIFA kemudian menegaskan akan bersama rakyat Indonesia menghadapi kasus ini. FIFA memberi dukungan pada Indonesia untuk bisa melewati masa-masa sulit ini.
Lebih jauh dari itu, Indonesia bisa saja dikenakan sanksi berat oleh FIFA. Apalagi korban meninggal dalam tragedi ini begitu besar. Jumlah tak wajar untuk ukuran sepak bola. Satu korban pun sudah terlalu banyak, apalagi ini.
Selain itu, dalam tragedi Kanjuruhan ada pelanggaran aturan FIFA yakni penggunaan gas air mata. Menurut aturan FIFA, gas air mata dilarang digunakan dalam pertandingan.
Pada tragedi kemarin, gas air mata menjadi penyebab jatuhnya banyak korban. Dalam video yang beredar, polisi bahkan menembakkan gas air mata ke arah tribun.
Sontak penonton yang ada di tribun panik dan akhirnya kondisi menjadi kacau. Para penonton berbondong-bondong ingin segera keluar stadion. Kondisi itulah yang membuat korban berjatuhan karena saling berdesakan.
Penggunaan gas air mata mendapat banyak kritikan salah satunya dari YLBHI. YLBHI bahkan menyebut ada indikasi pelanggaran HAM.
Polisi sendiri menyebut penggunaan gas air mata sudah sesuai dengan prosedur. Tapi sekali lagi ada aturan FIFA yang dilanggar. Saya melihat komunikasi antara PSSI dan pihak keamanan tidak berjalan dengan baik.
Seharusnya law of the game disampaikan secara rinci oleh PSSI pada pihak keamanan. Aturan olahraga memiliki ketentuan yang bisa mengesampingkan aturan umum atau disebut dengan lex sportiva. Dalam dunia hukum istilah ini disebut dengan lex specialis derogat lex genaralis.
Berkaca dari itu, sanksi berat FIFA tentu sudah menanti. Mundur sedikit pada tahun 1985 kejadian serupa pernah terjadi di Inggris ketik Liverpool dan Juventus bentrok di Liga Champions.
Kedua tim melakoni laga di stadion Heysel, Belgia. Kala itu fans Liverpool merusak pagar pembatas dan menyerang fans Juventus. Dalam tragedi itu sebanyak 39 orang meninggal dunia.
Dalam hasil penyelidikan, fans Liverpool dinyatakan bersalah dalam kejadian itu. UEFA kemudian memberikan sanksi pada semua klub Inggris untuk tidak tampil di seluruh kompetisi Eropa selama waktu tak ditentukan.
FIFA kemudian memperberat sanksi itu dengan melarang semua klub inggris tampil di kompetisi dunia. Praktis semua tim Inggris tidak bisa main di kancah internasional baik itu Eropa dan dunia.
Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi pada Indonesia. Apalagi jumlah korban yang meninggal sebanyak 125 orang. AFC dan FIFA bisa saja melakukan hal di atas atau hal yang lebih berat lagi yakni menyasar Timnas Indonesia.
Tentu itu adalah kondisi terburuk jika terjadi. Indonesia mungkin saja tidak akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan alias di banned.
Selain itu, konsekuensi terburuk juga bisa terjadi di Piala Asia 2023. AFC bisa saja melarang Indonesia tampil di ajang tersebut. Tentu itu adalah harga yang harus dibayar dalam tragedi Kanjuruhan.
Hal-hal tersebut adalah dugaan yang mungkin akan terjadi. Entah sanksi seperti apa yang akan diterima oleh Indonesia setelah tragedi Kanjuruhan.
Namun ada kondisi yang miris. Hal itu karena Timnas Indonesia sudah melaju ke arah yang benar sementara kualitas liga masih jalan di tempat.
Berbenah diri
Jika membaca semua informasi yang ada, kejadian kemarin tidak sepenuhnya salah suporter tapi semua elemen pun ikut andil dalam kejadian kemarin.
Pihak manajemen sendiri kurang profesional karena mencetak tiket yang melebihi kapasitas penonton stadion. Padahal kepolisian telah meminta rekomendasi agar tiket yang dicetak sesuai dengan kapasitas stadion.
Nyatanya kondisi di stadion menjadi over dan pada akhirnya kejadian yang tak diinginkan terjadi. Di sisi lain, pihak LIB dan broadcaster juga turut andil.
Panpel Arema dan pihak keamanan telah meminta rekomendasi agar laga antara Arema dan Persebaya berlangsung sore hari. Hal itu guna meminimalisir kejadian.
Laga antara Rans Nusantara vs Persebaya juga ricuh. Tapi tidak ada korban jiwa karena laga digelar sorehari sehingga pengamanan lebih maksimal.
Sayangnya LIB dan pihak broadcaster kekeh agar laga digelar malam hari. Tentu kita semua tahu sepak bola adalah industri. Tapi ada aspek yang jauh lebih besar dari rating yakni keselamatan pemain dan penonton.
Pihak keamanan juga turut andil karena tidak mampu melakukan tugasnya dengan baik sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Terakhir adalah suporter. Kita berharap semua suporter dapat bersikap lebih dewasa dengan menerima semua hasil pertandingan entah itu kalah, seri, atau menang. Suporter harus lebih dewasa.
Melihat keempat faktor di atas, rasanya kita tidak bisa menjadi penyelenggara sepak bola yang baik. Jadi, saatnya kita merenung untuk memperbaiki kondisi semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H