Kesuksesan lahir dari kerja keras. Itulah kalimat ajaib yang selalu ditanamkan oleh semua bos di seluruh bumi untuk membakar semangat karyawannya.
Tidak sedikit dari kita yang "termakan" oleh motivasi tersebut. Banyak pekerja yang rela bekerja di luar jam kerja tanpa dibayar dengan dalih kerja keras untuk mencapai kesuksesan.
Kemudian akrab di telinga kita istilah workaholic atau si gila kerja. Seorang workaholic akan mementingkan pekerjaan dibanding aspek kehidupan lain, termasuk waktu istirahat untuk diri sendiri.
Kemudian timbul pandangan di masyarakat yang menganggap bahwa untuk mencapai sukses hanya benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja keras hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya alias hustle culture.
Sebaliknya, orang yang tidak bekerja keras akan dianggap sebagai orang malas, tidak bernilai, tidak produktif dan sebagainya. Padahal, seperti yang kita ketahui hustle culture bisa memengaruhi kondisi kesehatan.
Selain itu, ketika seseorang dianggap gagal atau tidak sukses, maka kegagalan itu dibebankan pada individu. Misalnya dalam dunia marketing, jika tidak mencapai target penjualan maka hal itu sepenuhnya kegagalan individu dan dianggap tidak bekerja keras.
Padahal ada faktor lain yang membuat daya beli di pasaran turun. Salah satunya kondisi pandemi yang membuat ekonomi tidak stabil. Itulah salah satu sisi negatif dari hustle culture.
Belakangan, generasi z mulai sadar jika kerja keras yang disebut produktif itu tidak membuahkan apa pun selain lelah. Kini muncul istilah baru di kalangan gen z, yaitu quiet quitting, antitesis dari hustle culture.
Mengenal quiet quitting
Beberapa waktu lalu, media sosial ramai membahas topik quiet quitting. Topik ini pertama kali dibahas oleh seorang pengguna Tiktok bernama @zaidleppelin.
Secara harfiah, quiet quitting berhenti diam-diam. Namun hal tersebut kontrdiktif dengan padanan harfiahnya, ia tidak berarti berhenti atau keluar dari pekerjaan.