Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.Â
Pasal 28B ayat 1 tersebut kemudian dijabarkan lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menikah memang menjadi tujuan hidup setiap orang. Bisa hidup bersama dengan pasangan tentu menjadi momen yang dinantikan banyak orang. Namun, menikah bukan perkara siap atau tidak.
Lebih dari itu, segala hal harus disiapkan dengan matang. Baik itu finansial, mental mau pun restu orangtua yang menjadi syarat penting dalam perkawinan.
Selain itu, mungkin banyak orang yang tak menyadari jika sebelum atau sesudah perkawinan dilangsungkan undang-undang memberi ruang untuk membuat perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi:
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Kedua pihak yang akan atau yang sudah menikah dapat membuat perjanjian perkawinan. Lalu, apa saja isinya? Terkait ini, undang-undang tidak merinci apa saja yang diatur.
Hal itu karena dalam hukum perdata dikenal dengan "asas kebebasan berkontrak". Jadi, kedua pihak bebas mengisi perjanjian tersebut selama tidak melanggar ketentuan hukum, kesusilaan, maupun agama sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Namun, pada umumnya dalam perjanjian perkawinan berisikan pembagian harta. Utamanya harta bawaan sebelum perkawinan itu dilangsungkan.
Jadi, harta yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan dilangsungkan tidak bisa menjadi harta bersama. Tapi, harta yang diperoleh selama berumah tangga menjadi harta bersama.
Hal itu ditegaskan dalam Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan. Jadi, dalam kasus di atas baik suami atau istri memiliki hak atas harta yang dihasilkan selama perkawinan.Â