Pelan tapi pasti, teka-teki kematian Brigadir Yoshua mulai terungkap. Dalam perkembangan terkini, Bharada E siap menjadi justice collaborator.
Selain itu, Bharada E juga mengaku siap memberikan informasi yang lengkap pada penyidik. Bharada E enggan menanggung semua beban hukum tersebut seorang diri.
Terbaru, menurut pengacara Bharada E, Deolipa Yumara kliennya sudah memberi nama-nama yang terlibat dalam kasus ini.Â
Selain itu, ternyata Bharada E disuruh atasannya untuk membuat skenario kematian Brigadir J. Dengan kata lain, kronologi yang selama ini beredar tidak benar.
Termasuk dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J tidak benar alias omong kosong. Begitu juga dengan atirbut lain seperti sopir pribadi dan lain-lain.
"Skenario yang terdahulu adalah cerita omong kosong. Omong kosong," ujar Deolipa Yumara (kompas.tv)
Meski begitu, Deolipa menyebut jika kliennya mengaku menembak Brigadir J. Tapi skenario tersebut tak sesuai dengan apa yang beredar selama ini.
Dalam satu wawancara di kompas tv, Muhammad Burhanuddin tim kuasa hukum Bharada E menyebut jika insiden saling tembak sebenarnya tidak ada. Dengan kata lain, Bharada E diperintah oleh atasannya untuk menghabisi nyawa Brigadir J.
Bisa jadi, Brigadir J sudah tidak bisa melakukan perlawanan apa pun. Kemudian atas perintah atasan akhirnya Bharada E menembak Brigadir J.
Di sisi lain, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa posisi Bharada E sebenarnya bukanlah orang di balik kematian Brigadir J. Akan tetapi, aktor intelektual tersebut adalah atasannya sendiri.
Bisa jadi Bharada E melakukan itu karena terpaksa. Tentu ada relasi kuasa dalam hal ini jabatan. Jadi, Bharada E tidak bisa menolak perintah atasan karena seperti yang kita ketahui Polri memakai sistem komando.
Hanya saja perintah yang dilakukan oleh atasan jelas bertentangan dengan undang-undang. Jabatan yang ia emban justru disalahgunakan dan digunakan untuk mengintimidasi orang lain.
Maka sudahlah tepat jika Bharada E tidak dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Hal itu karena Bharada E terpaksa melakukan tindakan menghilangkan nyawa tersebut karena ada tekanan dari atasan, dalam hal ini relasi kuasa.
Menurut hemat penulis, otak di balik kejadian ini enggan kotor tangannya. Maka ia memakai tangan orang lain agar tangannya tetap bersih. Maka aktor intrlektual inilah yang seharusnya dijerat dengan Pasal 340 KUHP.
Lalu, apakah ada kemungkinan jika Bharada E bisa lepas dari kasus ini? Menurut saya kecil kemungkinannya. Jika kita melihat kembali, ada dua hal yang bisa menghapuskan sifat melawan hukum dalam tindak pidana.
Di antaranya diatur dalam Pasal 44 KUHP. Misalnya seseorang yang jiwanya terganggu maka ia tidak bisa dipidana karena unsur kesalahan tidak terdapat padannya. Dengan kata lain, ia tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hal lain yang bisa menghilangkan sifat melawan hukum adalah jika perbuatan tertentu sesuai dengan undang-undang. Misalnya seorang eksekutor hukuman mati tidak bisa dipidana karena hal itu adalah tugasnya yang dilindungi undang-undang.
Akan tetapi, tindakan menjadi justice collaborator adalah tindakan yang tepat. Jika Bharada E bisa membantu penyidik membongkar siapa saja yang terlibat bisa jadi itu akan menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman.
Tinggal kita saksikan akan ada kejutan apa lagi dari kasus ini. Yang jelas, publik masih menunggu dalang sebenarnya di balik kematian Brigadir J. Selain itu, motif pembunuhan Brigadir J sendiri masih belum kita ketahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H