Selain itu, PSSI juga sebenarnya menilai jika STY telah gagal menangani timnas U-23 dan senior. Hal itu karena di Piala AFF 2020 lalu hanya menjadi runner up dan tentu target utamanya juara.
Begitu juga dengan SEA Games 2021, target awal adalah medali emas tetapi yang dicapai hanya perunggu. Dengan kata lain, STY tidak bisa memenuhi semua target yang ditetapkan PSSI dan dianggap gagal.
Apalagi jika STY tidak berhasil membawa Indonesia ke Piala Asia maka ia tetap dicap sebagai pelatih gagal karena tidak bisa memenuhi target PSSI yaitu juara Piala AFF 2020, medali emas SEA Games 2021, dan Piala Asia 2023.
Jadi, ukuran keberhasilan seorang pelatih dari kacamata PSSI bukan dilihat dari progres permainan Timnas Indonesia, melainkan hasil akhir (prestasi).
Hal itu yang diungkapkan salah satu pimpinan PSSI yaitu Haruna Sumitro. Beliau menilai jika hasil jauh lebih penting daripada proses.
Hal inilah yang membuat pecinta sepak bola tanah air geleng-geleng kepala. PSSI masih saja memilih jalan pragmatis, tidak ingin menikmati proses.
Tim sekelas Liverpool pun harus mengontrak Jurgen Klopp cukup lama untuk membuat skuat yang top di musim ini.
Padahal sudah jelas jika gonta-ganti pelatih bukan solusi, kita seakan tidak belajar dari kegagalan sebelumnya. Jika STY tidak melatih timnas senior, maka usaha yang ia lakukan sia-sia.
Padahal masih ada Piala AFF 2022 yang akan datang. Jadi, masih ada event tim senior yang akan dihadapi tahun ini. Jika STY diganti, akan seperti apa timnas kita di Piala AFF nanti?
Itu sebabnya jika timnas gagal, maka biang keladi dari kegagalan itu adalah pelatih bukan dari dalam tubuh PSSI sendiri.
Pun begitu, jika pemain mentas ke luar negeri atau timnas meraih kemenangan heroik seolah-olah itu adalah hasil kinerja PSSI dan mengesampingkan peran pelatih.