Hasilnya orang-orang justru mematuhi pada orang yang bermodel polisi. Studi itu menguatkan jika pakaian memang bisa memengaruhi persepsi orang lain.
Bahkan bisa memengaruhi citra seseorang. Misalnya jika seorang wanita kerap berpakaian minim akan dicap sebagai wanita nakal.
Begitu juga dengan wanita yang berpakaian tertutup akan dicap sebagai wanita baik. Intinya, pakaian memang akan berbanding lurus dengan citra seseorang.
Hal itu yang terjadi pada para terdakwa. Perbuatan dan pakaiannya jelas tidak sejalan. Namun, mereka seakan-akan memberi tahu bahwa mereka telah tobat dan menyesali perbuatannya.
Berpakaian agamis seolah-olah memberi tahu pada kita bahwa terdakwa telah menyesali perbuatannya dan telah kembali ke jalan yang lurus.
Meski begitu citra pakaian tidak selalu positif. Ada juga yang menilai jika satu instansi memiliki citra negatif. Meski begitu, tetap saja kekuatan seragam mampu membuat persepsi orang berbeda.
Memang tidak salah seorang terdakwa memakai atribut agamis. Tapi, seharusnya mereka juga tahu jika atribut itu tidak hanya dipakai untuk menarik simpati saja atau mengubur kesalahan di masa lalu.
Mungkin inilah yang sulit diterima oleh masyarakat secara umum. Pakaian tertutup seolah-olah merepresentasikan jika seseorang harus dibebaskan dari penindasan, dalam hal ini kasus hukum yang ia jalani.
Kegeraman Jaksa Agung bisa kita pahami, tapi seorang terdakwa seharusnya tahu jika atribut seperti itu kurang pas jika hanya untuk menarik simpati atau merepresikan telah kembali ke jalan yang benar.