Meski begitu, ada jalan terjal yang harus dilewati partai baru agar bisa menduduki kursi di parlemen. Jalan terjal pertama adalah verifikasi faktual KPU.
Selain itu, parpol baru harus memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 173 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Misalnya partai tersebut harus memiliki status berbadan hukum. Memiliki kepengurusan total di kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan sebanyak 75 persen.
Memiliki kepengurusan total di kecamatan 50 persen di kabupaten/kota yang bersangkutan. Keterwakilan perempuan juga harus dilibatkan yakni sebanyak 30 persen di kepengurusan parpol tingkat pusat.
Berkaca pada pemilu 2019 lalu, masalah verifikasi faktual menjadi persoalan beberapa parpol baru. Meski telah berstatus badan hukum tetap, akan tetapi dari sisi keanggotaan dan kepengurusan di daerah tidak terpenuhi.
Sehingga partai baru tersebut tidak bisa berkontesatasi pada pemilu 2019. Beberapa partai tersebut di antaranya Partai Idaman, Partai Indonesia Kerja, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), dan Partai Bhinneka.Â
Selain verifikasi faktual, jalan terjal kedua yang harus dilewati parpol baru pada pemilu 2024 adalah adanya ambang batas parlemen (parliamentary threshold).Â
Ambang batas parlemen digunakan sejak pemilu 2009. Hal itu diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang mengatur ambang batas parlemen sebanyak 2.5 persen.
Pada pemilu 2009, diikuti sebanyak 38 partai politik nasional dan 6 partai lokal Aceh. Sebanyak 29 partai nasional tidak lolos ke parlemen dan hanya 9 partai saja yang lolos ke parlemen.
Pada pemilu 2014, ambang batas parlemen naik 1 persen yakni menjadi 3.5 persen. Hal itu diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum.