Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Presidential Threshold: Batu Sandungan Pencapresan

26 Februari 2022   09:39 Diperbarui: 8 Maret 2022   11:04 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 24 Februari 2022 telah memutus perihal gugatan presidential treshold atau ambang batas presiden 20 persen yang diatur Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Gugatan kali ini diajukan oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Menurut Gatot, Pasal 222 UU Nomor 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945.

Selain itu, UU ini membatasi calon-calon wakil rakyat untuk menjadi calon presiden ke depan. Adapun bunyi dari Pasal 222 UU Pemilu sebagai berikut:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya

MK menilai gugatan yang diajukan oleh Gatot tidak dapat diterima dan tidak beralasan menurut hukum. Hal itu karena Gatot selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

Meskipun begitu, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari majelis hakim yaitu Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Saldi Isra.

Hakim Saldi Isra misalnya, beliau menilai pemohon memiliki kedudukan hukum dan pokok permohonan beralasan hukum. 

Akan tetapi, meski terjadi perbedaan pendapat seperti itu tetap saja keputusan diambil dari suara terbanyak. Dengan demikian, permohonan yang diajukan Gatot tidak dapat diterima.

Selain Gatot, terdapat beberapa gugatan terkait presidential treshold yang lain. Setidaknya ada enam gugatan yang diputus oleh MK dan semuanya ditolak. 

Batu Sandungan

Pada dasarya di dalam negara demokrasi, setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Begitu juga dengan pencapresan, setiap orang berhak maju dalam kontestasi pencapresan.

Hanya saja, untuk berkotentasi dalam percaturan presiden terdapat beberapa syarat formil yang harus dipenuhi. Tentu hal ini di luar elektabilitas atau kapasitas calon.

Misalnya dalam Padal 6A ayat 2 menyebut jika capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.

Dari ketentuan itu, jika ingin nyapres setidaknya harus memiliki kendaraan politik yaitu partai politik. Parpol sebagai kendaraan untuk nyapres bisa didirikan oleh siapa saja.

Hal ini bisa dilihat dari partai baru yang muncul saat ini. Partai baru ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Partai baru di sini memang partai yang murni baru lahir.

Ada juga partai baru yang lahir dari barisan sakit hati karena berseberangan dengan partai lama, misalnya Partai Gelora yang dimotori oleh Fahri Hamzah.

Meski telah memiliki kendaraan politik, masih ada syarat lagi yang harus dipenuhi yaitu presidential treshold alias ambang batas presiden sebanyak 20 persen.

Ilustrasi ambang batas presiden. | Source: KOMPAS.COM
Ilustrasi ambang batas presiden. | Source: KOMPAS.COM

Inilah yang menjadi batu sandungan sebenarnya. Perolehan 20 persen suara terlalu tinggi dan jelas merugikan partai baru yang ingin ikut dalam percaturan pemilihan presiden.

Belum lagi ambang batas parlemen 4 persen yang dinilai terlalu berat. Partai baru yang ikut kontestasi Pemilu 2019 tidak memenuhi ambang batas itu, jika diakumulasi maka sebanyak 13 juta suara terbuang begitu saja.

Keadaan ambang batas presiden sendiri masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Ada yang setuju dan ada yang tidak.

Bagi mereka yang setuju, ambang batas parlemen bisa memperkuat partai di parlemen. Sehingga sistem presidensial kuat. 

Hal ini mungkin saja benar, jika parlemen kuat maka pemerintah akan mudah dalam mengeluarkan kebijakan publik karena di parlemen kuat. Namun, hal ini justru bisa sebaliknya.

Parlemen yang gemuk tidak serta merta membuat keseimbangan. Dalam praktik, justru beberapa undang-undang yang dinilai tidak merepresentasikan keinginan rakyat bisa mulus melaju di parlemen.

Misalnya revisi UU KPK, UU IKN, dan tentu UU Cipta Kerja yang fenomenal yang oleh MK dinilai cacat prosedur. Gemuknya parlemen justru prosedur legislasi tidak berjalan dengan baik.

Di sisi lain, bagi pihak yang tidak setuju adanya presidential treshold akan menghambat calon lain yang ingin maju dalam pilpres karena syaratnya berat.

Untuk itu, adanya presidential treshold sejatinya hanya akan menghambat calon alternatif. Pilihan masyarakat diminimalisir, alasan masyarakat memilih bukan lagi karena sosok figur, bisa saja dengan dalih untuk menghindari hal buruk.

Sebetulnya, masih ada upaya hukum untuk menguji ini yaitu dibawa ke MK. Namun, berkali-kali MK menolak permohonan tersebut dengan dalil jika presidential treshold adalah open legal policy.

Sehingga syarat 20 persen tersebut dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi. Akan tetapi, masih terdapat pertanyaan yang bisa diajukan terkait ambang batas presiden.

Apalagi jika hitungan 20 persen suara tersebut dilihat dari hasil Pemilu sebelumnya yaitu Pemilu 2019. Lantas, apakah partai pemenang Pemilu 2019 akan memperoleh suara yang sama saat pemilu nanti atau tidak?

Maka tidak heran jika ambang batas presiden tidak lain hanya untuk melanggengkan kekuasaan suatu partai saja. Seharusnya setiap partai memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan calon.

Jika kita berkaca pada hasil Pemilu 2019 lalu, mungkin saja akan ada lebih dari dua calon karena beberapa partai bisa memenuhi ambang batas 20 persen.

Namun, nyatanya tidak demikian. Tentu ada hitung-hitungan politik. Selain itu, berkaca pada pilpres kemarin, partai dengan suara terbanyaklah yang mengajukan capres.

Partai dengan perolehan suara kecil akhirnya lebih memilih berkoalisi dengan partai suara besar karena tentu ada jatah kursi menteri, katakanlah begitu.

Hal berbeda akan terjadi jika ambang batas tidak ada. Mungkin saja akan ada alternatif calon lain yang bisa memberi banyak pilihan pada masyarakat.

Berkaca di negara lain yang menganut sistem presidensial, ambang batas presiden tidak dikenal misalnya di Amerika Serikat.

Beberapa kalangan menilai, jika ambang batas presiden nol justru akan memuculkan banyak calon. Namun, faktanya tidak demikian.

Dalam tulisannya, Djayadi Hanan menyebut negara yang tidak menganut ambang presiden tidak selalu memunculkan banyak calon.

Di Peru misalnya, pada 2016, capres dan cawapresnya ada 18 pasangan. Sebagian besar dari pasangan ini kemudian mengundurkan diri, lalu akhirnya hanya enam pasangan yang terus berkompetisi.

Tentu ada beberapa faktor mengapa beberapa pasangan mengundurkan diri. Misalnya elektabilitas yang rendah atau popularitas pertahana.

Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, adanya ambang batas presiden justru membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Polarisasi masyarakat tersebut begitu terasa bahkan tidak sedikit yang memakai politik identitas.

Pada akhirnya masyarakat terpecah menjadi dua kubu. Tentu saja polarisasi semacam itu tidak baik untuk dilanggengkan. Polarisasi tersebut tercipta karena ambang batas 20 persen.

Selain itu, jika kita melihat pada enam gugatan yang diputus MK hari itu, MK menyebut jika pemohon sebagai individu tidak memiliki kedudukan hukum.

Untuk itu, partai baru atau partai kecil yang memperoleh suara minim pada Pemilu 2019 bisa mencoba untuk menguji ambang batas presiden di MK.

Jika individu dinilai tidak memiliki legal standing, maka menarik jika partai yang mengajukan permohonan tersebut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun