Untuk itu, terlebih dahulu kasus pokok yaitu korupsi dana desa tersebut harus diputus guna mencari alat bukti yang sah.
Selain itu, seharusnya penyidik melihat posisi Nurhayati sebagai Bendahara Desa. Jika apa yang ia lakukan sesuai dengan tugasnya sebagai bendahara, maka tidak bisa dituntut. Hal itu diatur dalam Pasal 51 KUHP.
Jadi, seharusnya penyidik lebih teliti lagi dalam menetapkan status tersangka pada Nurhayati. Apalagi jika Nurhayati disebut turut serta, maka hal ini menjadi tidak masuk akal.
Terlebih lagi, seperti yang ia akui dalam videonya, Nurhayati tidak menikmati sepeserpun uang haram tersebut. Dengan kata lain, ia hanya menjalankan tugas saja.
Lebih dari itu, apa yang dilakukan oleh Nurhayati seharusnya diapresiasi. Hal itu karena keberaniannya dalam mengungkap kasus korupsi. Tapi, bukan apresiasi atau hadiah yang didapat malah status tersangka yang diterima.
Tentu saja hal ini menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Citra hukum di Indonesia sudah rusak tak kala hukum berpihak pada penguasa termasuk koruptor.
Tetapi, ketika ada seorang warga negara yang peduli justru medapat perlakuan yang tidak adil. Hal itu bisa saja memicu orang lain untuk diam dan tidak melapor tak kala kasus korupsi terjadi.
Bisa saja mereka yang mengetahui kasus korupsi enggan melapor karena takut menjadi tersangka. Hal ini terjadi karena peristiwa yang menimpa pada Nurhayati.
Jika sudah demikian, maka KPK selaku lembaga antirasuah akan kesulitan dalam menangani kasus korupsi. Hal ini karena peran masyarakat sangat dibutuhkan.
Jika masyarakat takut melapor, apa yang akan terjadi? Tentu ini menjadi angin segar bagi para koruptor. Untuk itu, penetapan Nurhayati sebagai tersangka adalah preseden buruk dalam dunia hukum di Indonesia.
Praperadilan
Tentu saja penetapan tersangka untuk Nurhayati tidak diinginkan. Untuk itu, upaya hukum yang bisa dilakukan Nurhayati adalah mengajukan praperadilan.Â