Dari sisi penampilan juga dijaga, sepatu yang dipakai selalu hitam mengkilat. Kesadarannya akan berbusana membedakan ia dengan lelaki lain di kampung halamannya.
Meski good looking, nyatanya sikap Harding tidak berbanding lurus dengan penampilannya yang rupawan. Ia juga disebut bukan orang yang cerdas bahkan hobi bermain golf, poker, hingga minum sampai mabuk.
Di dalam karier politiknya, ia tidak pernah sekali pun menonjolkan diri. Ia bahkan peragu dan plin-plan. Setelah ia menjadi anggota Senat Amerika Serikat tahun 1914, ia bahkan tidak hadir dalam acara debat.
Padahal acara debat tersebut membahas dua hal penting di AS kala itu, yaitu soal hak kaum perempuan dalam pemilu dan aturan yang melarang pembuatan dan penjualan minol.Â
Namun, penampilan yang rupawan itu bisa menutupi segala sisi buruk yang dimiliki oleh Harding. Pada suatu hari, Harding diundang oleh Partai Republik sebagai calon keenam presiden.
Nahas, konvensi partai tersebut menemui jalan buntu dan harus menentukan dua calon terkuat. Lalu, kepada siapakah pilihan itu akan jatuh? Tentu tidak lain pilihan itu jatuh pada Harding si rupawan.
Nyatanya Harding terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-29. Ia hanya memerintah selama dua tahun dan meninggal secara tiba-tiba karena stroke.
Kebanyakan sejarawan Amerika setuju jika Harding adalah presiden terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. Kisah Harding di atas merupakan cuplikan dari buku Blink yang ditulis oleh Malcolm Gladwell.
Blink adalah buku yang membahas cara berpikir cepat atau dikenal dengan sebutan cuplikan tipis. Namun, cuplikan tipis ini tidak seutuhnya benar dan bisa saja error.Â
Salah satunya adalah dalam menilai seseorang yaitu Warren G. Harding. Maka Gladwell menyebutnya dengan Warren Harding Error.Â
Kesalahan orang Amerika dalam memilih Harding sebagai presiden adalah karena tidak menilai secara utuh. Penampilan yang rupawan membuat seseorang tidak menilai sampai jauh ke belakang.