Umunya para penderita nomophopia yang parah ini berusia 18-25 tahun. Maklum saja pada usia ini tidak bisa hidup tanpa ponsel karena lahir di era teknologi yang tengah pesat.Â
Dari studi di atas, orang yang mengalami nomophobia parah 10 kali lebih mungkin memakai ponsel di tempat terlarang, dan bahkan 14 kali lebih mungkin bermain ponsel saat berkendara.
Padahal, bermain ponsel saat berkendara berbahaya. Tidak sedikit kecelakaan lalu lintas terjadi karena pengemudi bermain ponsel. Akibatnya, nyawa orang lain terancam.Â
Salah satu contoh paling baru adalah kecelakaan LRT Jabodetabek. Di dalam uji coba itu, LRT tersebut mengalami kecelakaan karena teknisi bermain HP.Â
Tidak ada yang pasti mengapa orang bisa terjebak ke dalam nomophobia. Namun, ada beberapa alasan mengapa phobia ini bisa muncul. Pertama, kebanyakan dari kita menghabiskan waktu terlalu banyak dengan ponsel.Â
Selain dompet yang berisi identitas, ponsel adalah barang lain yang wajib dibawa. Maka ketika ada waktu luang, tidak sedikit dari kita menghabiskan waktu itu untuk bermain media sosial dan mengecek notifikasi seperti email dan lainnya.Â
Kedua, ponsel menjadi penunjang aktivitas. Salah satunya untuk belajar. Tidak ada salahnya memakai ponsel sebagai penunjang itu, tapi jika terlalu sering akan ketergantungan.Â
Memang tujuannya untuk memudahkan, tapi jika hal itu dilakukan terus-menerus akan berakibat buruk. Misalnya minat literasi akan kurang, karena dengan jalan pragmatis tadi kita tidak perlu repot membaca buku yang tebal.Â
Tentu saja hal itu tidak baik karena tidak memanfaatkan potensi akal yang diberi oleh Tuhan YME. Sama seperti otot, jika otak tidak dilatih secara rutin misalnya dengan membaca, ya jelas akan kaku.Â
Ketiga, saat ini adalah zamannya di mana teknologi menguasai dunia. Jadi, setiap hari kita menjadi akrab dengan teknologi. Sebetulnya, teknologi diciptakan untuk membantu aktivitas manusia agar lebih efektif dan cepat.
Akan tetapi, jika kita tidak bijak dengan teknologi maka kita akan menjadi budak dari teknologi. Seharusnya teknologi dikuasai oleh kita, tapi untuk beberapa orang justru teknologi yang menguasainya.Â