HW seorang pria asal Cibiru Bandung harus berurusan dengan hukum setelah perbuatan bejatnya terbongkar. HW yang merupakan pengasuh pondok pesantren tersebut telah memerkosa 12 santriwati.Â
Bahkan, dari hasil perbuatan bejatnya itu para korban telah melahirkan sembilan bayi. Kabarnya, dua korban HW masih mengandung dan akan melahirkan.Â
Kasus di atas mengingatkan saya pada esai yang ditulis Bung Karno dalam Panji Islam yang berjudul Islam Sontoloyo. Esai itu ditulis oleh Bung Karno ketika beliau diasingkan ke Ende.Â
Selama di Ende, Bung Karno kerap menulis pemikirannya tentang islam. Salah satu tulisannya yang terkenal yaitu Islam Sontoloyo. Judul tersebut begitu berani, tapi yang dimaksud sontoloyo di sini bukan islamnya, tapi penganutnya.
Ketika itu, Bung Karno tengah membaca koran. Di halaman itu ada sebuah kasus yang mencuri perhatian Bung Karno, kasus tersebut adalah seorang guru ngaji memerkosa murid-muridnya.Â
Bagi Bung Karno, kasus perkosaan bukan barang aneh. Akan tetapi, pembelaan yang dilakukan oleh si guru ngaji itulah yang dikritisi oleh Bung Karno. Pelaku memakai dalil agama sebagai upaya untuk melegalisasi perbuatan bejatnya.
Si guru ngaji mengawini muridnya secara siri, yang menikahkan ya dia sendiri. Setelah itu disetubuhi muridnya, lalu saat itu juga diceraikan. Begitu seterusnya.
Jika si murid telah bersuami, si guru ngaji ini menyuruh cerai lebih dulu, setelah itu ia kawin secara siri, disetubuhi, lalu cerai. Si murid tadi kemudian rujuk dengan suaminya.Â
Itulah yang disebut dengan islam sontoloyo. Islam sontoloyo adalah mereka yang menghalalkan perbuatan haram yang dibungkus dengan dalil agama. Sungguh pemikiran yang sangat dangkal.Â
Begitu juga dengan HW, mungkin kata islam sontoloyo pantas disematkan padanya. Modus HW adalah memberi pendidikan gratis. Selain itu, dalil yang dipakai HW adalah "murid harus taat pada guru." Tentu hal ini tak jauh beda dengan kasus di masa Bung Karno.