Jangan anggap saya bisa bahasa isyarat seperti di TV, tentu saja alakadarnya karena memang tidak belajar.Â
Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia bekerja hari ini atau tidak, saya hanya memeragakan pekerjaannya.
Pekerjaan Wanda yaitu menggiling tepung untuk dijadikan cireng dan ia hanya merespons dengan cara mengangguk atau menggeleng.Â
Sesekali teman saya kerap memaksakan diri untuk berbicara. Tapi, yang jelas saya tidak bisa menangkap apa yang ia katakan karena tidak jelas. Jadi, saya sendiri lebih nyaman memakai bahasa isyarat.Â
Tapi, teman saya ini setidaknya ingin memanggil nama teman-temannya. Jadi, ia begitu berusaha keras untuk berbicara. Kami pun menulis nama masing-masing lalu diucapkan oleh Wanda.Â
Maka yang terdengar jauh dari apa yang ditulis. Misalnya untuk memanggil saya berubah menjadi "dai", "Asep" berubah menjadi "Atep", "Tandi" berubah menjadi "Tali", tapi itulah yang ia inginkan. Jadi, ketika berkumpul sesekali Wanda memanggil dengan nama-nama tadi.Â
Saya sendiri lebih senang menepuk pundak Wanda daripada memanggil namanya. Atau menggunakan tatapan mata untuk memulai pembicaraan dengan Wanda.Â
Ketika bermain futsal pun kami selalu mengajak Wanda. Ia memang hobi main bola, hanya saya saja yang suka bola tapi tidak bisa main. Jadi, saya hanya menonton dan bersikap bak seorang pelatih.Â
Komunikasi yang dijalin saat bermain bola pun sama, memakai bahasa isyarat. Misalnya jika ingin meminta bola, maka acungkan tangan agar bisa dilihat oleh Wanda, dan ketika ia melihat isyarat itu, ia akan mengoper bolanya.Â
Meskipun Wanda memiliki fisik yang tak sempurna, tapi lingkungan sekitar menerimanya dengan baik. Termasuk di lingkungan pertemanan.Â