Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menghilangkan Stigma Negatif terhadap Penderita HIV/AIDS

1 Desember 2021   14:54 Diperbarui: 1 Desember 2021   15:34 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi HIV/AIDS. | Sumber: Shutterstock via KOMPAS.com

Sebagai makhluk hidup, tentu kita ingin tetap sehat agar bisa melakukan aktivitas dengan normal. Untuk itu, kita harus tetap menjaga pola hidup sehat agar tubuh kita tetap fit. 

Ketika covid-19 menjamur di negeri ini, banyak dari kita yang parno terhadap penyakit itu. Ketakutan pada virus tak kasat mata itu menular pada mereka yang terjangkit virus. 

Beberapa kasus sering kita dengar bahwa mereka yang dinyatakan covid-19 kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Bahkan, ada yang mengusir mereka dari rumahnya sendiri. 

Alasan itu dilakukan demi menjaga agar lingkungan sekitar tetap steril. Padahal, perbuatan itu jelas mediskreditkan penyintas, dan seakan membuat covid-19 adalah aib. Jadilah mereka bungkam untuk memberi tahu kondisi yang sebenarnya. 

Fenomena ketakutan akan penyakit tertentu bukan hal baru. Sudah menjadi rahasia umum, jika penderita HIV/AIDS kerap mendapat perlakuan serupa di lingkungan masyarakat. 

Dalam hal ini, saya hanya ingin berbicara soal hak asasi yang dimiliki oleh ODHA tersebut. Kedudukan mereka sama di mata hukum dan sosial, hanya saja sikap parno dan kurangnya ilmu akan penyakit itu membuat perlakuan diskriminatif tetap ada. 

Dilansir dari laman resmi World Health Organization (WHO), pada 2020 saja, sekitar 37, 7 juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV, sekitar 680 ribu orang meninggal akibat HIV dan 1,5 juta orang dinyatakan terinfeksi HIV di tahun yang sama.

Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan mencatat hingga Maret 2021 lalu, jumlah orang dengan HIV mencapai 427.201 orang dan jumlah orang dengan AIDS mencapai 131.417.

Kian hari kasus HIV/AIDS bertambah, namun akses bagi para penyintas tidak merata. Apalagi saat pandemi covid-19, cemooh dan dikucilkan bukan hal asing bagi para penyintas penyakit menular ini. 

Munculnya Stigma Negatif 

Stigma negatif terkait penyintas HIV/AIDS lahir dari ketidaktahuan. Tentu saja hal itu lahir karena kurangnya sosialisasi tentang penyakit ini. Sehingga rasa parno terhadap HIV/AIDS tetap ada dan lestari. 

HIV adalah penyakit yang merusak imun tubuh. Jika imun itu hancur, maka kondisi seseorang akan semakin lemah dan rentan diserang berbagai penyakit lain. Jika tidak segera ditangani, maka akan berlanjut pada tahap AIDS. 

AIDS adalah tahap akhir dari HIV. Pada tahap ini, daya tahan seseorang telah hilang sepenuhnya. Menurut beberapa sumber, virus HIV akan menetap di dalam tubuh penyintas selama hidupnya. 

HIV/AIDS merupakan penyakit yang bisa menular. Karena hal inilah, diskriminasi itu lahir. Tentu saja hal itu didasari karena ketidaktahuan dan tidak ingin tahu secara detail tentang penyakit ini. 

HIV bisa menular melalui kontak cairan dengan tubuh penyintas seperti darah, air mani, cairan vagina, serta ASI. Dengan cara itulah virus tersebut bisa menular.

Artinya, kontak langsung seperti jabat tangan tidak akan membuatmu terkena virus HIV. Selain itu, HIV juga tidak akan menular melalui udara, air, air mata, keringat, dan gigitan nyamuk. 

Hal ini perlu diketahui agar kita bisa lepas dari rasa parno di atas. Para penyintas HIV kerap dikucilkan di lingkungan sosial karena sikap diskriminasi tadi. Padahal, itu hanya akan membuat mereka depresi.

Tentu saja perbuatan itu hanya semakin menurunkan sistem imun saja dan bisa mengundang penyakit lain, khususnya dari sisi kesehatan mental. Mereka yang terjangkit HIV/AIDS tidak terus terang akan penyakitnya karena stigma negatif tersebut. 

Akibatnya, mereka memendam sendiri dan penyakit tersebut terus menggerogoti tubuh mereka terus menerus. Tentu saja hal itu seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Pola pikir ini yang harus kita ubah. 

Yang perlu dijauhi adalah penyakitnya, bukan mereka yang terjangkit. 

Bahkan, seseorang enggan melakukan tes HIV karena perlakuan diskriminatif tadi. Pada akhirnya, penyakit itu tidak tertangani dengan baik dan akhirnya menular bahkan sampai pada anak sendiri. 

Selain itu, seseorang yang terkena HIV/AIDS dianggap tidak bererika dan tak bermoral. Seakan-akan penyakit ini azab bagi mereka yang melakukan tindakan seks bebas. 

Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, tapi tidak semua orang yang terifeksi HIV adalah orang amoral yang gemar seks bebas dan hobi mengkonsumsi narkoba. Jika kita melihat cara penyebaran virus ini, ASI pun bisa menjadi medianya.

Jadi, bisa saja seseorang yang terkena HIV memang keturunan dari orang tuanya bukan dari perbuatan yang menabrak moral dan hukum. Tentu stereotip itu tidak bisa dipukul rata untuk setiap orang. 

Di sisi lain, para dokter yang kerap menangani pasien HIV/AIDS juga kerap mendapat perlakuan sama seperti para penyintas. Ketakutan berlebih tersebut membuat diskriminasi terus ada. 

Oleh sebab itu, perlu kiranya bagi petugas medis dan kita lebih memahami seluk beluk penyakit ini. Sehingga, informasi yang simpang siur tersebut bisa dikontrol. 

Jangan sampai rasa tidak tahu itu terus mengakar, sekali lagi diskriminasi terhadap penyintas HIV lahir dari ketidaktahuan dan ketakutan berlebih. 

Tentu saja, kita tidak ingin terjangkit oleh penyakit mematikan ini. Untuk itu, yang perlu kita lakukan adalah menjauhi faktor datangnya penyakit ini. 

Misalnya terkait dengan seks bebas dan hobi gonta-ganti pasangan, apalagi tidak memakai alat pengaman. Perbuatan itulah yang harus kita hindari, jika usia sudah matang dan mapan, sebaiknya menikah saja. 

Selain itu, HIV juga bisa datang melaui jarum suntik yang tidak steril. Misalnya mereka yang memakai narkoba dengan metode ini, bukan berarti saya melegalkan dengan metode lain, tetap saja yang namanya narkoba haram untuk dipakai. 

Lalu, siapakah yang berperan paling penting agar generasi kita tidak jatuh ke jalan yang salah? Bagi saya keluarga adalah gerbang pertama untuk memupuk rasa cinta akan diri sendiri. 

Keluarga berperan begitu penting untuk menciptakan karakter, di dalamnya termasuk penanaman budi pekerti, akhlak mulia, dan nilai-nilai luhur lainnya. 

Institusi pendidikan adalah tempat menyiram pupuk tadi sehingga bisa tumbuh dengan baik. Untuk itu, perlu ada kerja sama antara warga negara dan negara. Keduanya harus bahu membahu agar generasi kita menjadi generasi unggul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun