Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Usia Petani Kian Menua, Apakah Indonesia akan Krisis Regenerasi Petani Muda?

8 November 2021   11:18 Diperbarui: 9 November 2021   10:36 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi petani muda Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem. (Foto: KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA)

Siapa yang menggarap sawah itu? Jelas petani. Kira-kira berapa umur si petani itu? Apakah masih muda atau sudah tua? Tentu yang menggarap sudah tua.

Indonesia adalah negara agraris, begitu kata guru saya saat masih SD. Kata itu begitu melekat hingga saat ini. Indonesia memang memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Di luar itu, tanah Indonesia juga subur. 

Kondisi geografis negara Indonesia yang dikelilingi gunung berapi membuat tanah menjadi subur. Suburnya tanah tentu dimanfaatkan oleh para petani untuk bercocok tanam. 

Bahkan, saking suburnya tanah kita, Koes Plus menyebutnya sebagai tanah surga. Bayangkan saja, tongkat kayu dan batu saja jadi tanaman. Betapa suburnya negara tercinta kita ini. 

Di sisi lain, jika masih ada sawah di sekitar kita, siapa yang menggarap sawah itu? Jelas petani. Kira-kira berapa umur si petani itu? Apakah masih muda atau sudah tua? Tentu yang menggarap sudah tua.

Hal ini kerap saya jumpai, tidak hanya di sawah, di perkebunan juga sama. Saudara saya kebetulan masih mengandalkan sektor pertanian sebagai profesi, namun hanya orangtuanya saja. 

Selebihnya, anak saudara saya memilih pergi ke kota untuk merantau dan mencari profesi lain di luar bertani. Dari hal itu, kita bisa mengambil konklusi bahwa saat ini bangsa kita krisis petani muda. 

Hal itu senada dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 lalu. Jumlah petani di Indonesia per 2019 mencapai 33,4 juta.

Dari jumlah di atas, petani muda yang berusia 20-39 tahun hanya sekitar 2,7 juta atau 8 persen saja. Sisanya sekitar 91 persen atau 30,4 juta berusia di atas 40 tahun, mayoritas dari mereka berusia 50-60 tahun. 

Dihimpun dari data yang sama, dalam rentang waktu 2017-2018, penurunan petani muda cukup memprihatinkan yaitu sebesar 415.789 orang. Dari data di atas, jelas bangsa kita krisis regenerasi petani muda.

Padahal, pertanian merupaka sektor yang penting karena menyuplai makanan dalam kehidupan sehari-hari. Jika minat anak muda menjadi petani menurun, bukan tidak mungkin profesi petani akan hilang di masa depan. 

Ilustrasi Indonesia krisis petani muda. Sumber: pixabay
Ilustrasi Indonesia krisis petani muda. Sumber: pixabay

Di sisi lain, sebenarnya apa yang membuat para milenial enggan bertani? Apakah takut sinar matahari? Atau ada alasan lain yang membuat kaum milenial tidak mau menjadi petani lain? 

Sektor pertanian memang menjadi profesi yang riskan. Tentu ada risiko yang harus ditanggung, salah satunya gagal panen. Apalagi, kondisi iklim saat ini semakin buruk. 

Sering kita mendengar lahan pertanian atau sawah terendam banjir, tentu saja itu membuat petani rugi. Mungkin, itu salah satu alasan kaum milenial enggan bertani. Padahal, segala sesuatu pasti ada risiko tersendiri. 

Alasan lain yang membuat kaum milenial enggan menjadi petani ya karena kebijakan pemerintah sendiri. Misalnya terkait kebijakan impor beras, beberapa waktu lalu sempat mencuat bahwa pemerintah akan membuka keran impor beras. 

Padahal saat itu tengah musim panen dan kebutuhan beras dalam negeri cukup. Tentu saja kebijakan itu membunuh para petani kita, beras lokal harus bersaing dengan beras impor. 

Tidak jarang banyak dari petani kita yang memutuskan untuk menurunkan harga agar tetap bersaing dengan produk luar. Tentu saja kebijakan itu hanya merugikan para petani lokal kita.

Kebijakan pemerintah yang dinilai bisa merugikan para petani membuat kaum milenial enggan untuk mengambil profesi ini. Pilihan profesi yang diambil kaum milenial tentu tak ingin memiliki risiko di atas. 

Di sisi lain, lahan untuk bertani itu sendiri semakin sulit. Banyak lahan pertanian kini beralih fungsi menjadi perumahan. Jika lahannya berkurang, lantas dimana akan bercocok tanam? 

Di sisi lain, alasan yang paling realistis mengapa para milenial enggan bertani karena kesejahteraan petani itu sendiri masih kurang. Padahal pertanian dan peternakan merupakan sektor penting untuk mewujudkan kedaulatan pangan. 

Masih menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 menurut sumber penghasilan utama, jumlah rumah tangga yang tergolong miskin sebagian besar berasal dari sektor pertanian sebesar 46,30 persen. 

Di sisi lain, upah buruh tani sendiri menurun sejak pandemi. Kendati mengalami kenaikan pada tahun 2020, dari Rp 55.396, menjadi Rp 55.503, tetap saja hal itu tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan petani. 

Jumlah itu jelas tidak sebanding dengan sektor lain yang lebih menjanjikan, misalnya sektor pertambangan atau kerja kantoran. Hal itulah yang membuat para milenial enggan bertani karena lekat dengan kemiskinan. 

Jadi, profesi bertani tidak lagi menarik simpati kaum milenial karena beberapa alasan tadi. Mereka pun memilih profesi lain yang sesuai dengan kondisi saat ini, terutama dalam sektor industri kreatif. 

Anak petani pun begitu, saudara saya yang orantuanya petani di kampung memilih merantau ke kota daripada bertani. Hal ini karena harga sering tidak stabil. Misalnya untuk tomat dan cabe rawit.

Jika sedang anjlok, cabe dan tomat akan dijual murah, karena jika tidak demikian hasil panen tersebut akan membusuk. Daripada rugi dan tidak terjual, maka opsi menurunkan harga menjadi realistis. 

Tentu para petani pun enggan jika anaknya bernasib sama sepertinya. Untuk itu, mereka mendorong anak-anaknya agar bekerja di sektor lain yang bisa menjamin kehidupannya kelak. 

Semua masalah di atas adalah PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah agar bertani menjadi profesi yang diminati kaum milenial. Masalah di atas begitu kompleks, dan tidak akan selesai jika hanya memberi pupuk dan alat tani secara gratis. 

Belum lagi beberapa kebijakan pemerintah itu sendiri yang dinilai merugikan petani. Butuh pendekatan ekstra agar para milenial mau bertani, program Kang Emil mungkin menjadi salah satu contohnya.

Di samping itu, para petani milenial tadi harus dibekali dengan kemampuan yang mumpuni, khususnya cara bertani yang lebih modern yang berbasis teknologi.

Pendekatan teknologi ini bisa menarik perhatian kaum milenial yang begitu gandrung dengan sektor ini. Krisis petani muda perlu menjadi perhatian kita bersama agar profesi ini tidak hilang di masa depan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun