Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Usia Petani Kian Menua, Apakah Indonesia akan Krisis Regenerasi Petani Muda?

8 November 2021   11:18 Diperbarui: 9 November 2021   10:36 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Indonesia krisis petani muda. Sumber: pixabay

Di sisi lain, upah buruh tani sendiri menurun sejak pandemi. Kendati mengalami kenaikan pada tahun 2020, dari Rp 55.396, menjadi Rp 55.503, tetap saja hal itu tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan petani. 

Jumlah itu jelas tidak sebanding dengan sektor lain yang lebih menjanjikan, misalnya sektor pertambangan atau kerja kantoran. Hal itulah yang membuat para milenial enggan bertani karena lekat dengan kemiskinan. 

Jadi, profesi bertani tidak lagi menarik simpati kaum milenial karena beberapa alasan tadi. Mereka pun memilih profesi lain yang sesuai dengan kondisi saat ini, terutama dalam sektor industri kreatif. 

Anak petani pun begitu, saudara saya yang orantuanya petani di kampung memilih merantau ke kota daripada bertani. Hal ini karena harga sering tidak stabil. Misalnya untuk tomat dan cabe rawit.

Jika sedang anjlok, cabe dan tomat akan dijual murah, karena jika tidak demikian hasil panen tersebut akan membusuk. Daripada rugi dan tidak terjual, maka opsi menurunkan harga menjadi realistis. 

Tentu para petani pun enggan jika anaknya bernasib sama sepertinya. Untuk itu, mereka mendorong anak-anaknya agar bekerja di sektor lain yang bisa menjamin kehidupannya kelak. 

Semua masalah di atas adalah PR yang harus diselesaikan oleh pemerintah agar bertani menjadi profesi yang diminati kaum milenial. Masalah di atas begitu kompleks, dan tidak akan selesai jika hanya memberi pupuk dan alat tani secara gratis. 

Belum lagi beberapa kebijakan pemerintah itu sendiri yang dinilai merugikan petani. Butuh pendekatan ekstra agar para milenial mau bertani, program Kang Emil mungkin menjadi salah satu contohnya.

Di samping itu, para petani milenial tadi harus dibekali dengan kemampuan yang mumpuni, khususnya cara bertani yang lebih modern yang berbasis teknologi.

Pendekatan teknologi ini bisa menarik perhatian kaum milenial yang begitu gandrung dengan sektor ini. Krisis petani muda perlu menjadi perhatian kita bersama agar profesi ini tidak hilang di masa depan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun