Wilayah di Indonesia terdiri dari provinsi yang kemudian dibagi ke dalam tingkat kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan, desa, dan tingkat paling rendah yaitu RT.Â
Saya lahir dan besar di wilayah desa. Desa yang saya tinggali tidak sepenuhnya desa yang mayoritas masyarakatnya bertani. Di daerah saya justru sudah bergerak ke arah industri.Â
Jadi, nama desa sendiri masih kurang pas jika diidentikan dengan pertanian. Mungkin lebih tepat disebut kelurahan, tapi posisi tempat saya masuk kota enggak desa juga enggak. Tengah-tengah saja.Â
Dalam kepengurusan desa, tentu dipimpin oleh Kepala Desa yang dibantu oleh RT/RW. Untuk cabatan kades sendiri jelas, mungkin gengsi menjadi taruhan untuk jabatan kades ini.Â
Tidak sedikit yang mengeluarkan budget besar hanya untuk menjadi orang nomor satu di desa. Untuk tingkat RW pun sama, pemilihan RW diadakan sebagai bentuk demokrasi dalam cakupan kecil.Â
Tapi, untuk RT berbeda. Di daerah saya tidak ada yang namanya pemilihan RT. Bahkan, bapak saya menjabat RT lebih dari 10 tahun. Saya masih ingat betul tentang ini.Â
Sebut saja kades A sudah menjabat dua periode. Setelah si kades A habis masa jabatannya, seharusnya bapak saya tidak ikut kembali menjadi ketua RT, karena memang seperti itu regulasinya.Â
Nyatanya, bapak saya masih menjabat sampai saat ini. Jangan sebut bapak saya haus kekuasaan, apa yang bisa didapat dari jabatan tingkat RT. Tidak ada sama sekali.Â
Alasan ketua RT menjabat begitu lama karena beberapa sebab. Setidaknya ini yang saya amati.Â
Alasan pertama adalah kurangnya sosialisasi mengenai masa jabatan RT/RW. Di daerah saya, jabatan yang tegas waktunya hanya sebatas kades dan RW. Untuk RT tidak.Â