Apa yang terbesit pertama kali ketika mendengar kata gosip? Pasti isinya julid atau ghibahin orang. Tidak salah memang karena gosip yang kita kenal seperti itu.Â
Saya kira hampir semua orang pernah bergosip termasuk kaum pria. Ketika berkumpul dengan teman, pasti bumbu gosip menjadi penyedap yang mantap.Â
Biasanya yang dighibahin adalah orang di luar lingkungan pertemanan. Atau justru teman sendiri jika kebetulan tidak hadir saat nongki.
Sebelum mulut berbusa, bergosip pun bisa sampai berjam-jam. Bukan barang baru lagi jika gosip menjadi konsumsi semua kalangan. Biasanya topik yang paling diminati adalah soal asmara selebriti atau orang sekitar.
Jika sudah bahas ini, pasti tidak akan tuntas. Kini gosip sudah merambah pada dunia hiburan. Tengoklah acara TV tiap pagi, pasti isinya gosip selebriti. Selain itu, akun media sosial kerap dijadikan sebagai rujukan gosip.Â
Parahnya lagi itu dianggap benar dan digoreng di acara TV. Sebutlah akun lambe turah, dengan kekuatan hengpon jadulnya lambe turah menjelma menjadi akun terkini seputar kehidupan selebriti.Â
Apakah gosip itu baik atau buruk? Jika dilihat dari faedahnya jelas tidak karena hanya julidin dan ghibahin orang. Tetapi gosip juga mempunyai sisi positifnya lho.Â
Nah ini yang jarang kita sadari, gosip tidak selamanya negatif. Bahkan gosip sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dan masih digemari sampai saat ini.
Berkat gosip, manusia bisa bertahan hidup sampai saat ini. Jadi, gosip merupakan alat survival bagi manusia. Tentunya ini terdengar aneh, tapi itulah yang terjadi.Â
Fakta ini dikemukakan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens. Tentu kita tidak asing lagi dengan buku tersebut. Kabarnya, Bill Gates pun membacanya.Â
Buku tersebut menjelaskan bagaimana sapiens (manusia saat ini) bisa bertahan sampai saat ini. Padahal spesies manusia tidak hanya sapiens saja. Tapi, mengapa hanya sapiens yang mampu bertahan sampai saat ini?Â
Beberapa teori dikemukakan dalam buku tersebut. Sapiens bisa bertahan sampai saat ini berkat komunukasi yang dibangun menggunakan bahasa. Bahasa sapiens dikenal begitu efektif dan luwes.Â
Meskipun terbatas pada bunyi dan lambang, tetapi kita bisa menafsirkan kedua hal tersebut ke dalam kalimat yang begitu efektif. Misalnya untuk bunyi singa dan tanda jejak kakinya.
Dari dua tanda dan bunyi itu sapiens bisa menyusun kalimat "di suatu sungai ada seekor singa, tiba dari arah selatan dan sebagainya." Informasi itulah yang membuat sapiens bisa bertahan dengan bahasa.Â
Selain bahasa, komunikasi antar sesama sapiens juga penting. Salah satu komunikasi yang digemari sampai saat ini adalah gosip. Sapiens sendiri bergosip untuk bertahan hidup.Â
Tentu kita bingung, gosip seperti apa yang dibicarakan sapiens saat itu. Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial. Kerja sama sosial dan reproduksi menjadi kuci mengapa sapiens bisa bertahan sampai saat ini.Â
Sapiens membutuhkan informasi dari rekan yang lainnya. Misalnya terkait siapa yang paling kuat, pembohong, paling lemah, memiliki kepemimpinan dan sebagainya. Informasi tersebut begitu berguna.Â
Bergosip selama berjam-jam dan mencari siapa yang paling andal dalam memimpin kemudian berkembang. Seseorang yang dipercaya menjadi pemimpin kemudian membentuk koloni yang lebih besar.Â
Kawanan yang membesar tersebut membuat sapiens mengembangkan jenis kerja sama yang jauh lebih beragam dan canggih. Selain bahasa dan gosip, ada satu lagi yang membuat sapiens bisa bertahan.Â
Kemampuan sapiens yang unik adalah mampu menyampaikan informasi yang sama sekali tidak ada. Maka di sinilah mitos tercipta. Menurut Harari, kemampuan menciptakan fiksi itulah yang menjadi khas sapiens.Â
Teori gosip memang terdengar aneh. Tapi para peneliti percaya akan hal itu. Bahkan mayoritas manusia saat ini bergosip, entah itu dari mulut ke mulut maupun melalui media.Â
Selain itu, keberadaan mitos juga tidak bisa kita kesampingkan. Mitos masih ada sampai saat ini. Itu cukup efektif sebagai cara diplomasi. Misalnya terkait mitos hutan larangan. Tujuannya ya tidak lain untuk merawat kelestarian hutan.Â
Nah selain menurut Harari, beberapa sosiolog juga menyebut bahwa bergosip efektif dalam interaksi. Cobalah ketika anda masuk lingkungan baru, kemudian melempar isu apapun itu, pasti anda akan dianggap orang asyik.Â
Patilah obrolan akan panjang tiada akhir. Orang yang bergosip dianggap lebih mudah untuk berinteraksi dengan orang lain. Gosip sendiri tidak hanya bicara soal kehidupan selebriti dan kisah asmaranya.Â
Politik dan pemerintahan pun penuh dengan gosip. Misalnya, taro lah ada seorang anggota dewan melakukan dinas ke luar negeri. Eh ternyata uang dinas tersebut dipake buat liburan.Â
Darimana kita tahu itu? Misalnya si anak update di media sosialnya. Tentu ini masih spekulasi, tetapi dengan kejadian itu pengawasan terhadap keuangan dinas bisa saja menjadi lebih ketat.Â
Toh uang tersebut berasal dari rakyat. Kita tentu rugi jika uang tersebut digunakan tidak sesuai dengan fungsinya. Bergosip alias berspekulasi pada hal-hal demikian tidak ada salahnya bukan.Â
Jika dulu nenek moyang kita bergosip untuk bertahan hidup, maka tidak ada salahnya kita bergosip untuk menjaga keuangan negara atau lebih dari itu.Â
Tetapi, tentu saja harus disertai dengan data. Jadi, meskipun gosip banyak mudhorotnya, kita juga tidak memungkiri bahwa gosip lah yang membuat kita bisa bertahan sampai saat ini.Â
Jadi, gosip jangan hanya sebatas ghibahin dapur atau asmara selebriti. Tidak ada salahnya dong jika gosip tersebut untuk ghibahin kinerja pemerintah? Mungkin saja kita bisa menyelamatkan hal itu dengan bergosip.Â
Jadi itulah sisi positif bergosip. Tulisan ini tidak bermaksud membela tukang gosip. Tapi saya hanya mengangkat sisi lain dari gosip itu sendiri. Jika ada kesalahan, mohon maaf. Sekian dan terima kasih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H