Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Childfree, Keputusan untuk Tidak Mempunyai Anak

18 Agustus 2021   11:55 Diperbarui: 28 Agustus 2021   02:05 2257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi childfree. Via validnews.id

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 28B Ayat 1 UUD 1945. 

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Pengertian perkawinan di atas merupakan rumusan perkawinan yang terncantum dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Artikel ini saya mulai dari dua pasal di atas karena hendak menyinggung mengenai perkawinan. Setiap orang tentu ingin menggunakan hak tersebut dengan berbagai alasan. 

Ada yang mengatakan untuk menjauhkan dari perbuatan zina, sederhananya perkawinan adalah untuk melegalkan hubungan intim antara suami istri. 

Ada juga yang beralasan ingin hidup bahagia dengan pasangan. Lalu apa ukuran kebahagiaan dalam perkawinan itu? Saya tidak tahu, karena saya masih bujangan dan belum menikah. 

Akan aneh jika saya memaparkan ukuran kebahagiaan soal perkawinan. Bisa saja di antara pembaca saya ada yang sudah menikah. Jadinya seperti mengajarkan bebek berenang.

Tetapi, jika melihat batasan perkawinan di atas, jelas sekali tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia. Keluarga sendiri terdiri dari seorang ibu, ayah, dan anak. 

Nantinya akan berkembang menjadi keluarga besar. Tidak sedikit juga setiap pasangan mengharapkan hadirnya buah hati dalam hidupnya. Apalagi hal itu merupakan hak yang sudah dijamin oleh konstitusi kita. 

Kehadiran seorang anak dianggap sebagai penyempurna dari keluarga bahagia tadi. Tentunya kita ingin mempunyai generasi penerus. Di beberapa daerah Indonesia kehadiran anak justru menjadi penerus suatu marga. 

Lalu bagaimana jika ada pasangan yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Apa yang menjadi alasan pasangan tersebut untuk mengambil keputusan tersebut? 

Sekilas tentang childfree

Belakangan seorang Youtuber bernama Gita Savitri dan sang suami Paul Andre mengambil keputusan untuk childfree alias tidak memiliki anak. Istilah itu bukan hal baru, tetapi karena Gita seorang Youtuber terkenal maka menjadi perbincangan hangat. 

Gita Savitri dan Paul Andre memiliki untuk childfree setelah menikah. Via instagram.com/gitasav 
Gita Savitri dan Paul Andre memiliki untuk childfree setelah menikah. Via instagram.com/gitasav 

Istilah childfree sebenarnya sudah ada sejak dulu. Childfree bisa diartikan sebagai keinginan untuk tidak mempunyai anak setelah menikah. Entah itu anak kandung, anak tiri, maupun adopsi.

Childfree sendiri belakangan menjadi tren khususnya di kalangan pasangan muda. Salah satunya Gita Savitri. Meskipun masih menjadi perdebatan, ada beberapa alasan mengapa satu pasangan memilih untuk childfree.

Alasan pertama bisa saja salah satu pasangan memang mengalami masalah kesuburan dan memutuskan untuk tidak mengobatinya. Akan tetapi, itu bukan alasan yang umum, masih ada alasan yang lebih ekstrem.

Misalnya banyak yang memilih jalan childfree adalah alasan lingkungan, yaitu untuk mengurangi eksploitasi dan pencemaran lingkungan atas nama kehidupan manusia. Bumi semakin tercemar karena populasi manusia semakin banyak.

Selain itu, beberapa argumen lain juga menyebutkan banyak anak yang telantar. Hal itu didasari karena setiap orang sejatinya hanya mencintai anak kandung, seseorang dikatakan tidak bisa mencintai anak orang lain.

Di sisi lain, penganut childfee juga berorientasi ingin meningkatkan kualitas kehidupan bersama pasangan mereka. Dengan tidak adanya anak, maka mereka dengan mudah membangun kualitas hubungan pasangan, dan bisa mencapai stabilitas kehidupan.

Alasan inilah yang membuat Gita Savitri memilih jalan childfree. Gita merasa tanpa kehadiran seorang anak pun hubungan dengan suaminya tetap bahagia. Terlepas dari itu, chilfree memang terdengar asing di Indonesia.

Apalagi budaya kita juga tidak seperti itu. Selain itu, di Indonesia juga masih dikenal dengan prinsip banyak anak banyak rezeki. Budaya-budaya tersebut jelas begitu kontradiktif dengan childfree.

Apalagi, orang Indonesia selalu sibuk mengurus kehidupan orang lain. Misalnya jika seseorang belum menikah akan terus ditanya kapan menikah dan seterusnya.

Bahkan, tidak jarang ada yang menciptakan standar kehidupan. Di usia sekian harus menikah dan sebagainya.
Setelah menikah, tentu masih ada lagi pertanyaan yaitu kapan punya anak.

Sekelumit budaya itulah yang membuat childfree begitu kontradiktif dan sulit diterima di Indonesia. Budaya kolektif tersebut membuat sebagian orang merasa terganggu. Bagi saya, hal-hal yang menyentuh urusan privat tidak perlu disinggung.

Pandangan tentang childfree

Tentunya beberapa orang mempunyai pandangan tersendiri tentang childfree. Saya tidak akan membahas dari sisi ilmu lain, saya tidak memiliki keahlian untuk itu. Karena memang bukan ahlinya.

Saya hanya akan melihat dari disiplin ilmu yang saya geluti. Seperti yang sudah saya singgung di awal artikel ini. Perihal pernikahan dan melanjutkan keturunan merupakan hak.

Bagi saya, hak tersebut mutlak karena sudah melekat sejak lahir pada manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Setiap orang tentunya bisa memilih kapan untuk menggunakan hak tersebut. Jika ada yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, maka satu pasangan tersebut memilih untuk tidak memakai hak melanjutkan keturunan.

Tidak ada yang bisa mengintervensi terkait itu, karena ini murni ranah pribadi. Begitu juga dengan keputusan seseorang untuk memilih tidak menikah.

Sejatinya itu adalah pilihan, yaitu memilih untuk tidak menggunakan haknya yaitu menikah. Hanya saja budaya kita yang kolektif masih kesulitan menerima hal ini.

Kebahagiaan dalam berumah tangga juga tidak bisa diukur dengan apapun, setidaknya menurut hemat pribadi. Setiap pasangan mempunyai standar kebahagiaannya masing-masing.

Jadi, untuk hal-hal pernikahan, urusan momongan, bagi saya itu adalah ranah pribadi, dan saya yang memang tahu bahwa itu adalah hak masing-masing jadi memilih untuk tidak ambil pusing.

Terkadang kita juga harus tahu batasan ranah pribadi dan publik. Apa yang dipilih Gita merupakan ranah pribadi, tentunya ada sebagian orang yang julid dengan keputusan itu.

Bagi saya hal itu tidak perlu dilakukan, karena setiap orang mempunyai kewenangan untuk menggunakan hak (menikah dan punya anak)  yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.

Jika kita melihat lebih jauh, bagi saya ada yang lebih ekstrem dari childfree. Dilansir dari tirto.id anak muda Korea Selatan justru semakin enggan menikah.

Hal tersebut membuat angka kelahiran di negara ginseng tersebut menurun. Salah satu alasannya adalah menentang peran gender.

Di Korea Selatan, wanita yang menikah secara otomatis akan menjadi ibu rumah tangga, mengurus dapur, anak, dan urusan rumah tangga lain. Sementara laki-laki bertugas mencari nafkah.

Tentunya para perempuan Korea tersebut menuntut adanya kesetaraan gender. Baik laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama khususnya dalam karier. Bisa dibayangkan bukan, menikah saja enggan apalagi punya anak.

Intinya kita sendiri harus tahu batasan, mana yang merupakan ranah privat dan ranah publik. Perkawinan, mempunyai anak dan urusan rumah tangga lain merupakan ranah privat.

Kita sebagai masyarakat umum tidak perlu memasuki urusan privat semacam itu. Bahkan, di dalam pengadilan kita mendengar satu asas pengadilan terbuka untuk umum.

Berbeda halnya dengan kasus perdata yang memang mengurus hal privat, untuk menjadi terbuka untuk umum harus mendapat persetujuan dari pihak yang bersengketa.

Khususnya dalam kasus perceraian dan zina. Waktu itu, ketika semester 5 saya diberi tugas untuk mengamati jalannya persidangan dalam kasus perdata.

Kebetulan sidang yang saya hadiri adalah kasus perceraian. Ketika ada mahasiswa yang menyaksikan sidang, raut wajah pihak yang berperkara menjadi tidak sedap dipandang.

Hakim menjelaskan bahwa saya dan teman-teman diberi tugas oleh pihak fakultas untuk mengamati jalannya persidingan. 

Sang hakim kemudian menyatakan pada para pihak apabila tidak berkenan mahasiswa hadir, maka sidang akan dilakukan secara tertutup.

Ternyata para pihak mengijinkan. Dan isi dari sidang itu, saya seperti menjadi tukang gosip. Karena aib kedua keluarga itu saya dengar dan tidak pantas untuk diceritakan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun