Dunia saat ini sedang terfokus pada konflik Israel dan Palestina. Setiap kedua negara tersebut memulai agresi, perhatian seluruh dunia teralihkan pada dua negara tersebut.Â
Tidak sedikit yang mengecam perbuatan Israel yang dinilai tidak mencerminkan peri kemanusiaan. Ada juga pihak yang mendesak agar Hamas segera menghentikan serangan terhadap Israel.Â
Dunia seakan terbelah menjadi dua bagian. Ada yang bersimpati kepada rakyat Palestina. Ada juga yang terus mendukung Israel, terutama dalam pasokan senjata.Â
Di Indonesia sendiri aksi solidaritas terhadap Palestina terus berlanjut. Bahkan Presiden Jokowi bersama dengan pemimpin negara lain mendesak agar agresi yang terjadi segera dihentikan.
Lain lagi respon generasi milenial. Mereka yang tidak tahu menahu tentang konflik tersebut justru membuat satu konten yang membuat warganet naik pitam. Niatnya iseng, tetapi berbuntut panjang.Â
Seorang siswi SMA asal Bengkulu membuat heboh jagat dunia maya setelah videonya yang diduga menghina Palestina meluas. Sang siswi di dalam media sosial TikToknya menirukan suara yang menyebut Palestina dengan sebutan binatang.Â
Selain menyebut dengan kata hewan, dalam video tersebut sang siswi menirukan suara agar menyerang Palestina. Tentu saja perbuatan tersebut menjadi viral.Â
Buntut dari kejadian itu, sang siswi akhirnya harus dikembalikan ke orangtuanya alias dikeluarkan. Tetapi, proses hukum sendiri tidak dilanjutkan ke ranah persidangan.Â
Perkara ini berhasil diselesaikan dengan mediasi yang melibatkan pihak sekolah, TNI, maupun Pemda. Metode restorative justice jelas dikedepankan dalam kasus ini.Â
Tidak sedikit kalangan yang menyatakan bahwa dikeluarkannya siswa dari sekolah berlebihan. Padahal kasusnya sendiri sudah selesai, seharusnya sekolah memberikan edukasi lebih kepada si siswa.Â
Lain lagi halnya di Lombok. Seorang pemuda yang melakukan hal serupa nasibnya kurang mujur. Sang pemuda harus berurusan dengan kepolisian dan telah ditetapkan menjadi tersangka.Â
Pria berinisial HL (23) yang merupakan petugas kebersihan di kampus swasta di Lombok ditangkap pihak berwajib. HL menjadi tersangka usai konten serupa terkait penyerangan Palestina.
Delik yang dikenakan terhadap HL adalah pelanggaran Pasal 28 ayat 2 jo 45a (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) soal ujaran kebencian terkait SARA. Mari kita lihat rumusan pasalnya.Â
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Pasal 28 sendiri seringkali menjadi alat untuk membungkam kritik. Ada satu frasa yang tidak jelas batasannya, yaitu antargolongan. Suku, ras, maupun agama sudah memiliki tafsir yang jelas.
Baca selengkapnya:Â Mencari Makna Frasa Antargolongan dalam UU ITE
Bagaimana dengan antargolongan? Tidak adanya batasan antar golongan membuat tafsir ini menjadi melebar. Bahkan bisa saja pendukung partai A, pendukung calon B termasuk dalam frasa golongan tadi.Â
Menjadi pertanyaan juga, apakah Palestina termasuk dalam frasa golongan tadi. Jika berbicara negara pasti berbicara bangsa yang terdiri dari suku, ras, dan sebagainya.Â
Namun, apakah ketentuan tersebut berlaku untuk negara lain? Yang bisa saya tangkap di sini adalah, kategori golongan dalam kasus ini adalah mereka yang bersimpati pada Palestina.Â
Atau bagi warga Palestina sendiri yang tinggal di negara ini. Pasal ujaran kebencian diatur juga dalam Pasal 156 KHUP. Bedanya, di dalam KUHP sudah dengan jelas memberikan tafsir kata golongan sebagai berikut.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Coba perhatikan kembali rumusan tersebut. Intinya golongan di situ tidak hanya berbicara soal suku, ras, negara asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan. Golongan yang dimaksud adalah di luar itu semua.
Jadi tafsir golongan sendiri semakin luas. Tidak ada batasan yang jelas membuat pasal ini menjadi karet dan rawan disalahgunakan. Di sini saya hanya membahas kata golongan dan tidak membenarkan perbuatan di atas.Â
Satu lagi yang harus dilihat adalah, dua kasus di atas adalah lipsing. Otomatis ada yang membuatnya, orang tersebutlah yang pertama kali mendistribusikan atau mentransmisikan.
Sehingga data elektronik tersebut bisa diakses oleh setiap orang dan menimbulkan ujaran kebencian tadi. Jadi ada pihak pertama yang lebih dulu menyebarkannya.Â
Lantas mengapa hanya mereka yang diproses, terapi pembuat fitur dan orang yang pertama kali menyebarkannya tidak terkena sama sekali. Seharusnya ini menjadi acuan bagi kepolisian.Â
Kepolisian juga jangn tergesa-gesa untuk menetapkan status tersangka. Seharusnya pertimbangkan dalam-dalam. Tentunya harus melibatkan beberapa elemen terutama ahli.Â
Pertanyaan lainnya adalah, mengapa untuk kasus HL tidak mengendepankan proses mediasi seperti yang dialami siswi SMA. Jika asumsi tersebut usia, mengapa pihak sekolah seakan lepas tangan.Â
Dan mengembalikan pada orangtua. Seharusnya hal yang sama juga didapat si pemuda. Apalagi Kapolri menekankan untuk lebih selektif lagi dalam penanganan kasus UU ITE.Â
Selain itu, di dalam SE Kapolri harus mengedepankan asas ultimum remedium atau pidana sebagai upaya terakhir. Tidak setiap kejadian seperti ini harus berakhir dengan pidana.Â
Pendekatan yang humanis harus dikedepankan. Bukan berarti saya membela, perbuatan tersebut jelas salah dan tidak beretika. Ini hanya pandangan saya saja terkait Pasal 28 UU ITE.Â
Kajadian ini harus menjadi pelajaran bagi kita. Tidak semua fitur yang tersedia dalam media sosialbaik. Bahkan hanya mempertontonkan kebodohan saja. Untuk itu kita harus lebih biiak lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H