Coba perhatikan kembali rumusan tersebut. Intinya golongan di situ tidak hanya berbicara soal suku, ras, negara asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan. Golongan yang dimaksud adalah di luar itu semua.
Jadi tafsir golongan sendiri semakin luas. Tidak ada batasan yang jelas membuat pasal ini menjadi karet dan rawan disalahgunakan. Di sini saya hanya membahas kata golongan dan tidak membenarkan perbuatan di atas.Â
Satu lagi yang harus dilihat adalah, dua kasus di atas adalah lipsing. Otomatis ada yang membuatnya, orang tersebutlah yang pertama kali mendistribusikan atau mentransmisikan.
Sehingga data elektronik tersebut bisa diakses oleh setiap orang dan menimbulkan ujaran kebencian tadi. Jadi ada pihak pertama yang lebih dulu menyebarkannya.Â
Lantas mengapa hanya mereka yang diproses, terapi pembuat fitur dan orang yang pertama kali menyebarkannya tidak terkena sama sekali. Seharusnya ini menjadi acuan bagi kepolisian.Â
Kepolisian juga jangn tergesa-gesa untuk menetapkan status tersangka. Seharusnya pertimbangkan dalam-dalam. Tentunya harus melibatkan beberapa elemen terutama ahli.Â
Pertanyaan lainnya adalah, mengapa untuk kasus HL tidak mengendepankan proses mediasi seperti yang dialami siswi SMA. Jika asumsi tersebut usia, mengapa pihak sekolah seakan lepas tangan.Â
Dan mengembalikan pada orangtua. Seharusnya hal yang sama juga didapat si pemuda. Apalagi Kapolri menekankan untuk lebih selektif lagi dalam penanganan kasus UU ITE.Â
Selain itu, di dalam SE Kapolri harus mengedepankan asas ultimum remedium atau pidana sebagai upaya terakhir. Tidak setiap kejadian seperti ini harus berakhir dengan pidana.Â
Pendekatan yang humanis harus dikedepankan. Bukan berarti saya membela, perbuatan tersebut jelas salah dan tidak beretika. Ini hanya pandangan saya saja terkait Pasal 28 UU ITE.Â
Kajadian ini harus menjadi pelajaran bagi kita. Tidak semua fitur yang tersedia dalam media sosialbaik. Bahkan hanya mempertontonkan kebodohan saja. Untuk itu kita harus lebih biiak lagi.Â