Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Bisakah Kita Hidup Lebih Bahagia Tanpa Media Sosial?

5 Mei 2021   21:37 Diperbarui: 6 Oktober 2021   07:01 4766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang-orang sedang asyik bermain media sosial tanpa memerhatikan lingkungan sekitar. Sumber foto: topcareer.id

Disaat aku bermain media sosial, maka aku ada. (Netizen) 

Ungkapan tersebut rasanya cocok untuk mendeskripsikan kondisi saat ini. Keberadaan media sosial (medsos) bukan hanya memberi esensi, medsos pada saat ini seakan menjadikan seseorang eksis di dunia ini. 

Ketika seseorang tidak aktif bermain medsos, maka seseorang dianggap tidak eksis. Keberadaan seseorang tersebut menjadi pertanyaan banyak orang, apalagi untuk para selebriti.

Setiap orang apalagi generasi milenial dan generasi Z setidaknya mempunyai satu media sosial. Bahkan dari bangun tidur sampai tidur kembali kebanyakan orang biasa mengecek notifikasi medsos. 

Pengguna medsos sendiri meningkat, apalagi setelah pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk lebih akrab dengan gawai dan internet. 

Dikutip dari Kompas.com, orang Indonesia setidaknya menghabiskan waktu sekitar 14 menit dalam sehari untuk media sosial. Dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta, sekitar 170 juta merupakan pengguna aktif media sosial. 

Dan pengguna media sosial di seluruh dunia sendiri mencapai 4.2 milyar. Itu artinya hampir setengah penduduk bumi melek dengan media sosial. 

Tidak bisa dimungkiri, kehadiran media sosial sendiri memberikan kemudahan bagi kita terutama untuk komunikasi. Kita bisa dengan mudah berinteraksi dengan banyak orang tanpa mengenal ruang dan waktu. 

Selain itu, media sosial juga kerap memberikan akses informasi aktual bagi kita. Bahkan dengan media sosial, kita bisa menggalang dana untuk kepentingan kemanusiaan. 

Namun tidak sedikit juga media sosial memberikan dampak negatif bagi kita, terutama untuk kesehatan mental. Jangkauan media sosial sendiri amat luas, bahkan kehidupan seseorang dengan detail dibagikan di media sosial. 

Setiap orang pastinya mengabadikan pencapaian dalan hidupnya di laman media sosial. Entah itu perihal asmara, karier, pendidikan, atau gaya hidup yang mewah. 

Ilustrasi orang-orang sedang asyik bermain media sosial tanpa memerhatikan lingkungan sekitar. Sumber foto: topcareer.id
Ilustrasi orang-orang sedang asyik bermain media sosial tanpa memerhatikan lingkungan sekitar. Sumber foto: topcareer.id

Disadari atau tidak, hal tersebut hanya akan membuat kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, atau biasa disebut dengan social comparison. 

Itulah yang saya rasakan waktu itu, ketika teman-teman saya membagikan gaya hidupnya yang mewah, saya justru merasa minder. Akhirnya saya hanya bisa membandingkan kehidupan saya dengan orang lain. 

Kehidupan orang lain yang mewah, asyik, dan diisi dengan kegiatan anak muda bisa dibilang berbanding terbalik dengan kondisi saya yang memang tidak bisa melakukan itu.

Akhirnya hal itu hanya membuat saya merasa benci dengan gaya kehidupan mewah yang dipamerkan di media sosial. Terkadang saya berpikir, saya harus berpikir dua kali untuk melakukan itu. 

Itu karena saya tahu, untuk melakukan gaya hedonisme tidak mungkin dilakukan oleh saya. Alasannya karena saya tahu susahnya mencari uang itu seperti apa. Tetapi ada segelintir orang yang katakanlah tidak terlalu bekerja keras justru memerkan sesuatu yang tidak perlu. 

Akhirnya saya hanya membandingkan pencapaian saya dengan orang lain. Ketika teman saya memamerkan pencapaian dalam hidupnya, entah itu karier maupun kehidupan mewah, saya merasa gagal. 

Bukan berarti saya merasa iri, terkadang orang-orang yang memamerkan gaya kehidupan hedonisme berlindung di balik kata "untuk memotivasi orang lain agar kerja keras". 

Padahal faktanya hal itu keliru. Tidak semua orang bisa mencapai taraf kehidupan seperti itu, bahkan ada yang bekerja dari pagi sampai malam penghasilannya tidak seberapa. 

Toh mereka sudah bekerja keras, kerja pun melebihi waktu biasa. Tapi nyatanya apa yang didapat? Yang ada adalah ketika melihat seseorang pamer kekayaan ada rasa ngenes, kok bisa gitu dia kerja cuma ini itu, sedangkan saya harus banting tulang begini-begini saja.

Itulah yang sebenarnya terjadi. Saya menganggap orang-orang tersebut hidup lebih bahagia dibandingkan diri saya sendiri. Sampai akhirnya saya sadar pada satu kesimpulan.

Justru yang membuat saya tidak bahagia adalah media sosial itu sendiri. Media sosial hanya menampilkan bias kesenangan semata.

Sampai akhirnya, saya membatasi diri untuk bermain media sosial. Sehari hanya membuka media sosial sekitar 5 menit. Tetapi itu tidak cukup, akhirnya saya uninstall aplikasi media sosial yang ada di handphone saya. 

Membandingkan diri kita dengan orang lain hanya mendatangkan rasa tidak bahagia. Karena pasti ada yang lebih jauh lagi dari itu. 

Cara membandingkan terbaik adalah dengan diri kita sendiri.

Sejauh mana diri kita, apakah lebih baik dari yang sebelumnya atau tidak? Apakah diri kita yang sekarang jauh lebih baik dari diri kita yang kemarin? Lantas jika tidak, apa yang harus diperbaiki? 

Membandingkan dengan diri sendiri akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik. Membandingkan dengan diri sendiri juga tidak akan merusak kesehatan mental ya karena untuk kebaikan diri sendiri. 

Akan tetapi, yang perlu kita renungi lagi bahwa media sosial adalah panggung kehidupan. Bisa saja mereka yang hobi pamer kekayaan nyatanya hanya ingin mendapat pengakuan dari orang lain. 

Toh meskipun memang harta mereka banyak, tetapi mereka tidak bahagia lantaran tidak ada yang mengakui. Lebih dari itu, bisa saja semua yang ditampilkan di media sosial adalah gimik. 

Apa yang dipamerkan sebenarnya tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Karena haus pengakuan dari orang lain, orang rela membodohi diri sendiri. 

Pada akhirnya tidak bahagia juga toh. Jadi hidup tanpa media sosial justru membuat kita lebih bahagia, kita tidak akan merasakan hal-hal di atas tadi. 

Toh jika sumber dari ketidakbahagiaan itu adalah media sosial sendiri, lebih baik kita hidup tanpa media sosial. Karena studi yang lainnya menunujukkan, jika seseorang menghabiskan waktu terlalu banyak dengan bermain sosial media, sesungguhnya dia kesepian. 

Ada dunia yang jauh lebih nyata daripada media sosial. Jika meminjam teori Plato, lebih baik kita keluar dari gua yang hanya menampilkan realitas bayangan semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun