Bukan rahasia lagi, riset dan inovasi merupakan salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Dihimpun dari kumparan, rilis Global Inovation Index (GII) pada 2020, Indonesia berada di urutan ke-85 dari 131 negara paling inovatif di dunia.
Peringkat tersebut jelas begitu rendah. Bahkan di ASEAN sendiri Indonesia menempati urutan terendah kedua di atas Kamboja. Sungguh memilukan.Â
Padahal pengetahuan dan teknologi (iptek) terus berkembang dan tidak bisa dibendung. Mau tidak mau kita harus mengikuti perkembangan tersebut, jika tidak maka akan digilas oleh zaman.
Di negara-negara maju iptek merupakan tulang punggung bagi kemajuan bangsa, jangan mengambil contoh terlalu jauh seperti Amerika atau Jepang. Negara tetangga kita Singapura sudah menerapkan ini.
Iptek bisa tumbuh dengan subur terutama dalam lingkungan akademis. Hubungan yang harmonis antara berbagai institusi terkait telah menumbuhkan tradisi ilmiah. Tradisi tersebut menjadi budaya dan terus berkembang.
Tradisi ilmiah tersebut diharapkan bisa tumbuh di masyarakat kita. Akan tetapi, untuk menumbuhkan tradisi ilmiah dan budaya riset di Indonesia masih terkendala dengan beberapa masalah yang harus dibenahi.Â
Biaya riset yang mahal menjadi salah satu faktor mengapa budaya riset sulit berkembang di Indonesia. Beberapa riset membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Masih menurut GII, dana riset yang digelontorkan pemerintah Indonesia untuk riset sebesar 0,25 persen dari PDB. Hal itu masih jauh dibandingkan dengan negara lain.
Di beberapa negara lain, riset justru didanai oleh swasta. Kondisi ini terbalik, di Indonesia penyumbang terbesar dana riset masih negara. Sebut saja di Amerika sana, orang terkaya di Amerika berlomba-lomba membiayai riset untuk perkembangan iptek, sekalipun riset tersebut ingin meredupkan cahaya matahari.
Masalah lain yang harus dibenahi adalah kita masih berkutat dengan ideologi. Permasalahan ideologi seharusnya sudah tuntas. Kita masih saja disibukan dengan isu bangkitnya ideologi bapak-bapak berjenggot tebal yang sebenarnya sudah tidak laku.
Kita masih saja berkutat dengan intoleransi dan perang melawan radikalisme. Bukan maksud menganggap remeh hal ini, tetapi untuk masalah intoleransi seharusnya sudah selesai sejak negara ini merdeka.
Negara lain sudah memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup di planet lain dan membuat oksigen di sana, bahkan sudah beranjak pada rekayasa genetika dan menciptakan kecerdasan buatan.