Bagaimana rasanya bila dalam satu keluarga saudara kandungmu perempuan semua? Lelaki satu-satunya hanya kau dan bapakmu saja. Tentunya itu menjadi pengalaman tersendiri dalam hidup, bukan?
Karena ada topik perihal ini, saya tergerak untuk membagikan pengalaman saya. Mohon maaf sebelumnya jika agak sedikit curhat, tetapi inilah yang saya alami dan saya rasakan.
Saya lahir dari keluarga sederhana, bapak saya seorang buruh pabrik dan kini sudah purnabakti, sedangkan ibu saya merupakan ibu rumah tangga biasa.Â
Saya merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Dan semua saudara saya perempuan semuanya. Terkadang saya sebagai lelaki satu-satunya seringkali mengalami pertengkaran karena hal kecil. Apalagi ketika saat kecil dulu, rumah selalu jadi lapangan bola dadakan oleh saya, dan tentunya saya sering dimarahi kakak saya seperti dalam serial Upin Ipin.Â
Ketika ibu saya mengandung lagi, saya dan adik perempuan saya bertengkar. Saya menginginkan lelaki karena tidak ada teman, sedangkan adik saya menginginkan perempuan.Â
Tetapi Tuhan mempunyai cara lain untuk "mendamaikan" pertengkaran saya dengan adik saya. Ibu saya mengalami keguguran, dan janin yang dikandung kala itu kembar, lelaki dan perempuan. Jika kedua adik saya itu selamat, mungkin sekarang berumur 13 tahun.Â
Kakak pertama saya kemudian menikah, dan dikaruniai dua orang anak, dan keduanya perempuan lagi. Dari keluarga kami, menginginkan anak lelaki. Tetapi dari pihak suami kakak saya menginginkan perempuan, karena semua keluarga suami kakak saya laki-laki. Dan seperti yang sudah ditakdirkan, saya kembali di kelilingi oleh perempuan.Â
Kemudian kakak kedua saya menikah, dan dikaruniai seorang anak. Lagi dan lagi, keponakan saya itu perempuan.Â
Dan alasannya sama, pihak suami dari kakak saya menginginkan perempuan karena semua lelaki. Dan Tuhan menjawab semua itu.Â
Saya sendiri pernah konflik dengan saudara, baik itu dengan kakak atau adik, tetapi tidak terbawa sampai sekarang. Kini, kami semua hidup akur, tidak ada pertengkaran, hal itu dikarenakan didikan bapak saya.Â
Meskipun hanya lulusan SD itu pun tidak tamat, bapak saya selalu mendidik anak-anaknya dengan tegas, dan selalu mengingatkan perihal persatuan dalam menjaga persaudaraan.Â
Sosok bapak yang tegas serta keras dalam artian mendidik. Sekal ipun keras, bapak saya tidak pernah memukul kami. Dan hasilnya didikan bapak saya terserap sampai hari ini yang akhirnya membuat kami selalu akur.
Jika ada konflik kecil, tidaklah sampai berlarut-larut. Kami menganggap itu seperti konflik saat masih kecil dulu yang bisa lupa dengan sendirinya, begitulah cara kami menyelesaikan masalah.
Meskipun kakak pertama saya gagal dalam membina rumah tangga dan harus berpisah. Tetapi itu tidak menjadikan satu halangan untuk tetap akur. Saya tetap menjadi guru bagi semua keponakan perempuan saya. Begitulah yang saya lakukan.Â
Kemudian setelah itu, kakak pertama saya menikah lagi. Dan sebelum itu, kakak ketiga saya menikah. Hebatnya, seperti janjian, semua kakak perempuan mengandung dalam waktu yang berdekatan.Â
Kakak pertama saya mengandung anak pertama dari suami barunya, kakak saya yang kedua mengandung anak yang kedua, dan kakak perempuan saya yang ketiga mengandung anak pertama.Â
Betapa senangnya ketika anak pertama kakak perempuan saya mengandung janin seorang lelaki, begitu girangnya.Â
Dan ya seperti saya, keponakan lelaki saya menjadi cucu lelaki satu-satunya dalam keluarga. Keluarga kami pun menjadi ramai dan besar.Â
Bayangkan ada tiga bayi yang tidak jauh usianya. Karena rumah kakak saya berdekatan, setiap hari keponakan saya datang ke rumah.Â
Di balik memiliki saudara perempuan, saya jadi tahu menahu soal perempuan. Saya menjadi tahu betapa sulitnya menjadi seorang ibu rumah tangga, itu sudah saya lihat dari ketiga kakak saya dan ibu saya.Â
Hasil dari didikan bapak saya menjadikan keluarga kami saling bahu membahu. Ketika kakak pertama saya mempunyai satu masalah dalam keluarganya, kami selalu mendukung dengan solid.Â
Begitu pun seterusnya, yang paling saya rasakan dari didikan bapak saya adalah semua kakak saya dan adik saya bahu membahu untuk menyekolahkan saya sebagai adik laki-laki satu-satunya ini ke jenjang universitas.
Keinginan saya untuk tetap belajar, ditambah dengan didikan orangtua saya untuk saling membantu, membulatkan tekad untuk menyekolahkan saya ke universitas.Â
Saudara saya semuanya perempuan dan berstatus ibu rumah tangga. Tidak ada wanita karir, pekerjaan suami saudara saya juga bukanlah pekerja kantoran, seseorang yang digaji berdasarkan UMR. Tetapi, saudara saya bisa menyisihkan itu untuk pendidikan adik lelakinya ini.Â
Bagi saya, merekalah Kartini sesungguhnya dalam hidup saya. Semua saudara saya ibu dan bapak selalu mendorong saya untuk menjadi sarjana pertama di keluarga kami, dan Alhamdulillah suami dari saudara perempuan saya mendukung itu semua.
Sampai akhirnya saya lulus menjadi sarjana beberapa bulan lalu, gelar yang melekat di belakang nama saya hasil dari kerja Kartini di belakang saya, yaitu kakak saya yang tidak menuntut kesetaraan perihal ini. Akan tetapi, kakak saya selalu mendukung saya untuk tetap maju.Â
"Ingat kau nanti akan menjadi kepala keluarga, punya istri dan anak. Belajarlah dari apa yang kau lihat pada kakakmu." Itu yang selalu diucapkan oleh kakak perempuan saya.
Dan itu pula lah ajaran feminisme yang dianut semua saudara perempuan saya. Meskipun bapak dan ibu saya bukanlah orang terdidik, bukan pejabat, tetapi orangtua saya bisa mendidik anaknya dengan baik. Itu artinya, perihal mendidik anak sepenuhnya dikembalikan kepada pribadi masing-masing.Â
Bapak dan ibu saya tidak tahu apa itu psikologi anak, tidak tahu itu. Tetapi didikan orangtua saya justru mempraktikan ilmu itu sendiri, dan menghindari perseturuan sesama saudara.
Prinsip itulah yang kami pegang, itu adalah didikan dari seorang bapak dan ibu yang SD pun tidak tamat, namun dapat kami rasakan hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H