Jika itu untuk media masaa jelas keliru. Karena media sudah ada instrumen hukum terkait peliputan, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Media jelas tunduk pada aturan tersebut.Â
Selain itu, seorang jurnalis juga harus berpedoman pada "Kode Etik Jurnalis" dalam memberikan informasi kepada publik. Seorang jurnalis haruslah objektif dalam menyampaikan informasi, sesuai fakta yang terjadi di lapangan.Â
Untuk menjaga instrumen tersebut berjalan baik, maka ada Dewan Pers yang bertugas untuk mengawasi kode etik jurnalis tadi.Â
Jadi, secara normatif apabila itu ditujukkan untuk media masaa maka tidak masuk akal. Karena untuk media masaa sudah ada instrumen hukum tersendiri terkait kaidah jurnalistik.Â
Secara normatif, surat telegram tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Pers. Jika kita tetap mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan, maka jelas kedudukan UU Pers jauh lebih tinggi dibanding surat telegramÂ
Setelah saya mencari tahu kembali, surat tersebut memang ditujukan untuk internal polri khususnya dalam bidang kehumasan di kewilayahan.Â
Lantas mengapa bisa timbul seperti ini, kesalahan persepsi tersebut justru menyeruak ke publik. Artinya komunikasi publik di internal polri tidak berjalan dengan baik.Â
Yang jelas, jika itu untuk kepentingan polri agar anggota polri meningkatkan kinerjanya, cara yang digunakan bagi saya keliru. Jika ingin meningkatkan kinerja polri agar lebih humanis, maka yang harus dilakukan ya menerbitkan larangan anggota polri untuk tidak arogan.Â
Surat tersebut seakan-akan menutupi perilaku oknum penegak hukum yang berperilaku arogan. Jika ingin mendapat kepercayaan dari publik yang harus dilakukan jelas adalah meningkatkan kinerja ke arah yang lebih humanis.Â
Jika hanya mengangkat sisi humanis tetapi mengesampingkan sisi arogansi bagi saya percuma. Karena lambat laun akan terbuka juga oleh media publik.
Oleh sebab itu, meningkatkan kinerja adalah pilihan paling efektif, dibanding hanya menerbitkan surat yang mengangkat sisi humanis semata.Â