Engkau sarjana muda, resah mencari kerja mengandalkan ijazahmu....
Empat tahun lamanya, bergelut dengan buku sia-sia semuanya.....
Setelah putus asa dia berucap, maaf ibu..
- Iwan Fals
Setiap orang yang tengah mengenyam pendidikan tentunya menghindari lagu tersebut. Bagaimana tidak, lagu Sarjana Muda karya dari Iwan Flas tersebut menggambarkan betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan meskipun dengan gelar sarjana. Setiap mahasiswa tentunya enggan menjadi tokoh utama dalam lagu tersebut.
Lulus dengan gelar sarjana di tengah pandemi memang menjadi tantangan tersendiri. Di tengah kondisi ekonomi yang carut marut, tuntutan usia, dan tuntutan masyarakat menjadi bumbu pedas bagi para sarjana yang lulus di tengah pandemi.
Menghimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran pada Agustus 2020 mencapai 9,97 juta orang. Jumlah pengangguran tersebut naik 2,67 juta orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pertambahan pengangguran tersebut jelas imbas dari Covid-19.
Jangankan untuk bekerja, orang yang bekerjapun kini terancam akibat pandemi. Amplop cokelat sudah disebar kemana-mana, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Ratusan email sudah dikirimkan namun tak ada satupun yang menyaut. Gelar sarjana menjadi beban tersendiri, dunia seakan tidak berpihak kepada para pejuang amplop cokelat.
Dengan berbekal kemeja putih, celana hitam, dan sepatu hitam, semua instansi dan perusahaan dikunjungi. Setelah itu terbesit satu harapan, harapan mendapat panggilan dari bapak/ibu HRD.
Setiap hari email dan nomor WA dipantau terus menerus, tetapi yang datang hanya SMS dari gugus tugas covid-19. Itulah nasib lulusan sarjana tahun ini. Penuh lika-liku.
Dunia seakan tidak adil, setiap orang mengeluh dengan pekerjaannya yang oleh perusahaan dituntut untuk mencapai target, di sisi lain para pejuang amplop cokelat hanya mengelus dada mendengar celetukan tersebut.
Dunia seakan tidak adil bagi para pejuang amplop cokelat, ketika ada orang-orang yang menolak begitu saja tawaran pekerjaan dari satu perusahaan dengan alasan gaji tidak pas, jarak yang jauh, atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan fesyen. Ingin rasanya membenturkan kepala orang tersebut ke jalan aspal panas bahwa di luar sana masih banyak yang membutuhkan pekerjaan.
Dunia seakan tidak pernah berpihak pada pejuang amplop cokelat, ketika ada satu temannya yang dengan gampangnya mendapatkan satu pekerjaan dengan jalan nepotisme.
Mereka semua seakan-akan diberikan karpet merah dan melangkah ke dunia yang lebih wah. Tanpa usaha, tanpa keringat, semua bisa tersisihkan hanya karena nepotisme.
Skill, IPK, prestasi hilang begitu saja ketika orang dalam berbicara. Pejuang amplop cokelat hanya bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Apakah sebenarnya yang kau tunjukan padaku Tuhan? Haruskah aku berpasrah pada takdir yang mana orang-orang materialis menganggap itu sebagai satu mesin mekanis.
Atau haruskah aku melawan takdirmu itu dengan usahaku? Lalu, sampai batas mana usaha itu aku kerjakan Tuhan? Begitu kiranya keluh kesah para pejuang amplop cokelat di tengah pandemi ini.
Kesenjangan sosial, ekonomi, status, keadilan menjadi terlihat jelas. Ingin rasanya menciptakan dunia tanpa kelas, tanpa kesenjangan, yang ada hanya kompetisi.
Seperti yang disebutkan oleh Friedrich Nietzsche bahwa dunia paling ideal adalah dunia yang natural, dunia di mana yang unggul dia akan bertahan dan yang lemah akan tersingkir. Dunia dimana setiap orang akan berjuang dengan caranya sendiri demi bertahan hidup tanpa iming-iming nepotisme.
Tetapi wahai para pejuang amplop cokelat, dunia ini tidak statis, dunia ini dinamis, akan selalu berputar. Hidup adalah ujian, setiap orang akan dianggap hebat jika telah menyelesaikan satu ujian, apa pun itu. Keadaan ini mau tidak mau harus dijadikan pecutan untuk membuat karakter yang tangguh.
Satu karakter yang siap menggandrungi kerasnya rimba kehidupan. Keadaan ini akan membuat kita sadar, bahwa orang yang mengeluh karena pekerjaan, orang yang menolak pekerjaan karena uang, atau orang yang mendapatkan pekerjaan lewat jalan nepotisme tidak akan pernah tahu akan arti pentingnya perjuangan, waktu, dan harta.
Dunia penuh misteri, tidak ada yang tahu, esok hari, bahkan satu menit kemudian tidak ada yang tahu, itu semua masih bisa berubah. Bisa jadi keterlambatanmu akan mendapatkan satu hadiah yang tak terduga.
Lebih dari itu, kita menjadi tahu arti dari usaha keras, dan betapa sulitnya mendapatkan sekeping rupiah. Sehingga kita akan bisa lebih menghargai apa yang kita punya.Â
Orang-orang tangguh lahir karena kondisi yang sulit, orang-orang yang bermental baja hanya lahir dari rahim yang mengalami lika-liku kehidupan, catur marut duniawi. Sudah banyak orang hebat yang hadir dari kondisi sulit. Ini hanyalah proses untuk mencapai itu, satu proses yang harus dilalui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H