Apalagi setelah keputusan Presiden Joko Widodo mencabut Perpres yang dikeluarkannya tersebut dengan mempertimbangan masukan dari beberapa tokoh ormas agama seperti NU, MUI, dan Muhammadiyah.Â
Saya tidak tahu apakah ormas di luar agama islam memberikan masukan atau tidak, jika tidak, maka narasi untuk mencabut Perpres tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari tokoh agama mayoritas menjadi tidak pas.
Stigmatisasi mayoritas lebih dominan terhadap minoritas bisa saja muncul. Padahal Perpres itu sendiri hanya mengatur empat wilayah saja seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua. Â
Tentunya budaya dan kebiasaan di wilayah tersebut berbeda dengan wilayah lain di Indonesia yang mayoritas muslim. Maka mencabut Perpres ini dengan narasi agama adalah tidak tepat.
Setidaknya pemerintah harus menggunakan narasi lain dalam mencabut Perpres tersebut. Jika narasi yang digunakan bertentangan dengan nilai-nilai luhur, bukankah ke empat wilayah tersebut yang dalam tradisi adat, miras justru mempunyai peran penting, apakah termasuk pula nilai-nilai luhur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia?
Lantas acuan nilai luhur mana yang dipakai? Ada juga yang menolak dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang Agama. Ukuran agama mana yang dipakai? Jangan sampai yang menjadi ukuran adalah mayoritas.
Saya pribadi mempunyai pandangan tersendiri tentang legalisasi miras ini. Bagi saya keputusan Presiden dalam melegalkan produksi miras sudah baik. Hal ini pemerintah memperhitungkan beragamnya nila, budaya, dan agama yang ada di Indonesia, sehingga empat wilayah tersebutlah yang dipilih, karena budaya dan kebiasaan di empat wilayah tersebut mendukung.
Tetapi yang perlu diperhatikan kembali adalah pengawasan peredaran miras yang diproduksi ke empat wilayah tersebut. Jelas pasar dari miras ini adalah luar negeri, untuk diekspor, mengingat kualitas miras tradisional kita mempunyai daya saing. Tetapi apakah pemerintah bisa menjamin itu?
Bisakah pemerintah memberikan jaminan agar peredaran miras itu benar-benar untuk ekspor. Saya kira sulit. Pemerintah akan sulit mengontrol hal tersebut. Maka yang harus diperbaiki jika ingin legalisasi produksi miras pemerintah harus bisa membenahi sektor tersebut. Pasalnya kita tidak boleh menutup mata, anak-anak yang belum sepantasnya minum  ada yang sudah mencicipi apa itu miras.
Itu menandakan lemahnya pengawasan dan kontrol dari pemerintah itu sendiri. Seharusnya ada regulasi mengenai pembatasan umur. Itu dalam kondisi produksi miras tertutup, apalagi terbuka.Â
Saya kira membenahi sektor ini menjadi penting. Di daerah saya banyak yang merantau ke daerah lain, candaan sering kali datang ketika sang perantau hendak pulang. Bawa oleh-oleh miras asal sana.Â